Rabu, 27 April 2011

Guru Tak Boleh Berteman dengan Murid di Facebook


INGGRIS - Para guru diperingatkan agar tidak berteman dengan para “murid” di situs jejaring sosial Facebook. Pasalnya, saat ini terjadi pengaburan batas antara kehidupan profesional dan pribadi para guru.

Konsultan keamanan internet Karl Hopwood dalam sebuah Konferensi Nasional Tahunan Guru (NUT) di Inggris menyebutkan, siswa yang mendapatkan akses informasi akan gurunya berpotensi mempermalukan para guru di laman Facebook mereka. Selain itu, banyak kepala sekolah yang menggunakan informasi yang diposting di situs jejaring sosial untuk merekrut calon pekerjanya. Demikian seperti dikutip dari situs Guardian, Rabu (27/4/2011).

Hopwood yang juga mantan kepala sekolah ini menyatakan, komentar lengah yang di-posting dapat berdampak buruk. Dia memberikan contoh seorang wakil kepala sekolah, yang menemukan foto dirinya mengenakan baju Superman dan dipajang di papan buletin sekolah. Gambar ini diambil oleh rekannya di suatu pesta ulang tahun, dan menyebar karena pertemanannya dengan para murid.

UN - Ladang Penyimpangan Ketidakjujuran dan Ketidakdisiplinan

Ujian Nasional atau disingkat UN diadakan dengan tujuan sebagai alat tolok ukur standar pendidikan di Indonesia. Namun, kehadiran alat tersebut justru menjadikan beban tersendiri bagi siswa, pendidik, dan orang tua siswa. Mengapa beban? Hal ini karena hasil UN digunakan sebagai penentu kelulusan siswa. Alhasil yang memperoleh nilai kurang, tidak lulus. Seharusnya tidak demikian, hasil UN sebaiknya dijadikan sebagai landasan sebuah lembaga pendidikan agar mereview kembali proses kegiatan pendidikan dan pengajaran di sekolah masing-masing. Jika hasil siswa mereka rendah, artinya ada sesuatu yang harus diperbaiki. Nilai UNSD/UNSMP sebelumnya bisa dijadikan pedoman awal. Jika, UN ditingkat selanjutnya rendah, artinya proses pembelajaran di sekolah tersebut ada masalah.

Dijadikannya UN sebagai penentu kelulusan menjadikan oknum siswa dan oknum pendidik mencari jalan pintas. Kekhawatiran ‘tidak lulus’ dalam UN menjadikan mereka berbuat tidak terpuji. Ada oknum yang berusaha membocorkan soal dan menyebarkan kunci jawaban ke siswa-siswa yang mau bayar mahal. Ada juga oknum yang membuat kunci ‘bodong’ alias kunci palsu untuk mendapatkan uang dengan memanfaatkan momen-momen seperti ini. Siswa yang kurang PD atau mungkin lemah dalam hal akademis pun rela membeli kunci yang diedarkan, entah tahu kunci itu palsu atau benar.

Di dalam ruang ujian pun, ada oknum siswa yang membawa HP untuk membantu mereka dalam mengerjakan UN. Padahal aturan UN sudah jelas tidak boleh membawa HP. Dan yang sangat disayangkan, pengawas UN di tempat tersebut hanya mendiamkan hal tidak terpuji ini berlangsung. Tidak hanya membawa HP, ada juga oknum siswa yang berdiskusi bahkan mencontek pekerjaan teman mereka. Kegiatan negatif ini mereka anggap wajar demi sebuah kata ‘LULUS’ tanpa memperhatikan keberkahan yang menyertai.

TV Harus Edukatif

Kendati televisi bukan media massa yang pertama kali ada, namun perkembangannya dari masa kemasa sangat cepat. Usia televisi di Indonesia baru berumur 45 tahun. Akan tetapi, dengan kurun yang relative singkat itu televisi terus mengalami perkembangan. Dari fitur layer hitam putih sampai televisi corak warna. Tadinya hanya ada satu chanel, kini terdapat banyak chanel. Mungkin di Indoensia sendiri terdapat puluhan chanel. Dari perusahan penyiaran televisi raksasa sampai yang lokal.

Sebenarnya keberadaan televisi di Indonesia dikarenakan pemerintah pada tahun 1961 mendapat proyek Asean Games. Acara ini ingin disiarkan kedaerah yang terjangkau oleh satelit televisi yang waktu itu masih sangat bersifat lokal. Maka Pemerintah memutuskan untuk menghadirkan media massa yang sarat dengan manfaat dan kemewahan ini. Kemudian di bangun Panitia Persiapan Pengembangan Televisi Indonesia pada tahun 1961. barulah pada tanggal 20 Oktober 1963 didirikan yayasan TVRI-Televisi Republik Indonesia-berdasarkan keputusan Menteri No. 215/ 1963. sejak itu, televisi sudah bisa dimanfaatkan (ditonton), kendati masih sangat sederhana.

Dari awal keberadaanya sampai sekarang, televisi adalah media massa yang sangat digemari masyarakat. Maka tidak heran jika televisi menjadi icon utama media massa dibanding dengan surat kabar, majalah, bahkan internet sekalipun. Dengan kemewahan ini, maka tujuan pemerintah menghadirkannya tiada lain untuk edutaitment-mendidik sekaligus menghibur. Bahkan, keberadaan yayasan TVRI (1963) pertama kali ada karena untuk mempersatukan bangsa dengan pesan-pesan pendidikan yang ditayangkannya.

Siapa Mengawasi Pengawas UN?

Tulisan ini bukanlah pembelaan bagi guru yang melakukan “pekerjaan sambilan” saat mengawasi ujian nasional (UN). Melainkan lebih kepada refleksi secara keseluruhan bahwa keberhasilan UN tidak semata-mata diukur dari banyaknya contekan ataupun lengahnya pengawasan. Keberhasilan UN lebih ditekankan kepada kerja sama seluruh kalangan pendidikan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

Sesungguhnya sejauh manakah kewenangan pengawas UN? Hal ini mengingat begitu bernafsunya para pejabat publik melakukan peninjauan berkaitan pelaksanaan UN setiap tahun. Peninjauan UN ini dilaksanakan secara sporadis baik pejabat pusat sampai pejabat daerah. Temuan-temuan mencengangkan pun muncul seiring sidak tahunan pelaksanaan UN dilakukan.

Fakta adanya pengawas UN yang justru membaca koran saat pengawasan UN hari pertama di SMAN 3 Sukoharjo (Joglosemar, 19 April 2011) merupakan salah satu fenomena gunung es. Tentu masih banyak ditemui beragam bentuk “pekerjaan sampingan” yang dilakukan pengawas ujian namun luput dari pantauan pejabat peninjau.

Lalu, sejauh manakah kemanfaatan kunjungan pejabat terkait dalam pelaksanaan UN? Mampukan kunjungan pejabat UN meminimalisasi indikasi kecurangan setiap pelaksanaan UN? Sangatlah ironis memang, ketika peninjauan pejabat terkait marak, indikasi penyimpangan UN sendiri juga semakin marak dengan beragam media penyampainya.

Selasa, 26 April 2011

Kegagalan Sistem Pendidikan Asia

Pada edisi 26 Maret 2010, salah satu jurnal sains paling bergengsi di dunia, Science, memuat sebuah artikel singkat berjudul “Asian Test-Score Culture Thwarts Creativity”, yang ditulis oleh William K. Lim dari Universiti Malaysia Sarawak. Dituturkannya bahwa meskipun sejak bertahun-tahun lalu Asia didaulat akan menjadi penghela dunia sains berkat sangat besarnya investasi di bidang sains dan teknologi, kenyataannya Asia masih tetap saja tertinggal di banding negeri-negeri barat (Eropa Barat dan Amerika Utara). Menurutnya, akar permasalahannya adalah budaya pendidikan Asia yang berorientasi pada skor-tes, yang alhasil tidak mampu mengasah keterampilan berpikir dan kreativitas pelajar. Padahal kedua kemampuan itulah yang menjadi dasar untuk bisa menjadi ilmuwan yang berhasil.

Di Asia, para pelajar dan sekolah berorientasi mengejar skor-tes setinggi-tingginya. Para pelajar yang memiliki skor-tes lebih tinggi akan lebih baik karir masa depannya karena persyaratan masuk ke berbagai institusi pendidikan yang lebih tinggi dan lebih baik ditentukan oleh skor-tes. Semakin tinggi skornya tentu semakin baik pula peluangnya. Beragam pekerjaan bergengsi juga hanya bisa dimasuki oleh mereka-mereka yang memiliki skor tinggi. Sekolah yang para siswanya meraih skor-tes tinggi akan naik reputasinya, dan dengan demikian menjamin pendanaan lebih banyak. Guru pun ditekan untuk mengajar dengan orientasi agar siswa bisa memperoleh skor-tes yang tinggi. Tidak heran jika kemudian latihan-latihan tes mengambil porsi besar dalam pendidikan di sekolah-sekolah di Asia karena keberhasilan sebuah sekolah semata-mata dinilai dari catatan skor-tes yang diperoleh sekolah itu.

Akibat iklim pendidikan berorientasi skor-tes, para orangtua di Asia lazim memasukkan anak-anaknya ke suatu les pelajaran tambahan di luar sekolah sejak usia dini. Di Singapura, pada tahun 2008, sejumlah 97 dari 100 pelajar mengikuti les tambahan pelajaran di berbagai institusi persiapan tes (baca: Lembaga Bimbingan Belajar). Pada tahun 2009, industri persiapan tes di Korea Selatan bernilai 16,3 Miliar US$ atau setara dengan 146,7 triliun rupiah. Jumlah itu kira-kira senilai 36% dari anggaran pemerintah untuk dunia pendidikan di negeri ginseng.

Dasar-Dasar Pendidikan Bagi Anak

Oleh: Abu Khaulah Zainal Abidin

Pendidikan itu bukan sekolah, bukan pondok pesantren, bukan pula perguruan tinggi, apa lagi lembaga-lembaga kursus! Melembaganya pendidikan ke dalam bentuk-bentuk di atas di satu sisi memang tampak memudahkan, karena menimbulkan kepercayaan masyarakat bahwa ada pihak-pihak atau tempat-tempat tertentu yang diharapkan bisa mendidik (baca: mengajar) masyarakat di usia-usia belajar mereka, termasuk bisa juga disalahkan manakala timbul permasalahan di usia-usia belajar mereka. Dari sisi ini tampak sekali, bahwa “pendidikan sebagai produk masyarakat” lebih dominan ketimbang “masyarakat sebagai produk pendidikan”.

Masyarakat telah lebih dahulu mendifinisikan, bahwa: Pendidikan itu adalah lembaga pendidikan yang mendidik (-nyatanya hanya mengajar-) di usia-usia belajar mereka, 6-3-3-6 th dst. Masyarakat telah lebih dahulu mendisain masa depannya dan meciptakan sistim pendidikannya untuk itu. Tepatnya, bisa dikatakan, bahwa pendidikan adalah cermin sistem sosial, di mana ia diselenggarakan di dalam sekaligus demi cita-cita sistem tersebut.

Padahal pendidikan adalah sebuah proses mengambil, menyerap, dan mengamalkan ilmu. Cakupannya meliputi ketrampilan, penghayatan, dan penalaran. Dan karena kebutuhan manusia akan ilmu itu tidak terbatas, bahkan sebanyak tarikan nafasnya -kata Imam Ahmad-, maka tentu saja waktu dan tempat pendidikan pun tak terbatas. Dan karenanya proses tersebut tidak bisa semata menjadi tanggung jawab sekolah. Rumah tangga, tempat rekreasi, kantor, pabrik, bahkan pasar semua adalah lembaga pendidikan.

Fenomena Ujian Nasional: Ini Benar-benar Terjadi

Suasana sepi mencekam, dengan penuh keseriusan anak-anak mengerjakan soal-soal Ujian Nasional. Dua pengawas duduk di kursinya. Dua puluh menit kemudian mulai terdengar gemerisik kertas di ruang itu. Anak-anak mulai mencari-cari kesempatan buat mencontek karena dilihatnya sang pengawas asyik mengobrol. Ketika gemerisik kertas menjadi semakin ribut, sang pengawas hanya berkata “Boleh tanya tetapi jangan berisik.” Jadilah mereka bertukar-tukar jawaban.

Ujian Nasional akan dimulai tepat pukul delapan. Namun para siswa telah diminta hadir di sekolah pukul enam. Pukul enam sang guru mata pelajaran yang diujikan datang memberikan rambu-rambu yang disertai jawaban-jawaban soal. Anak-anak merasa senang ketika apa yang diberikan gurunya pagi tadi benar-benar keluar dalam ujian.

Pengawas Ujian Nasional harus bukan guru mata pelajaran yang diujikan. Entah untuk mengejar uang transport yang akan diberikan kepada pengawas atau ada maksud lain, tiba-tiba saja guru matematika menjadi guru PLKJ, guru IPA menjadi guru Tata Boga dan seterusnya agar mereka bisa mengawas penuh selama empat hari.

Dying Inside

Seorang sahabat yang baik mengirimkan sebuah cerita hikmah kepada saya melalui akun facebooknya. Seperti ini ceritanya, Puluhan tahun yang lalu, di sebuah desa di Kaliwungu Kudus ada seorang tua, pekerjaan beliau adalah tukang asah pisau keliling.

Setiap hari orang tua tersebut berkeliling dari rumah ke rumah untuk menawarkan jasanya. Beliau berkeliling sambil membunyikan lonceng kecil, untuk
menarik perhatian orang.

Pada awalnya, banyak sekali orang yang memanfaatkan jasa beliau. Setiap hari selalu ada saja orang yang mengasahkan pisau ataupun gunting mereka ke orang tua tersebut. Dengan pekerjaan mengasah pisau, orang tua tersebut bisa menghidupi keluarganya.

Tahun demi tahun berlalu, jaman semakin modern dan membuat segalanya menjadi praktis. Demikian juga, pisau-pisau maupun gunting-gunting yang ada di pasaran semakin berkualitas dan murah. Sehingga perlahan- lahan tidak ada lagi orang yang mengasahkan pisau atau guntingnya. Mereka lebih memilih untuk membeli yang baru daripada mengasahkannya. Akibatnya, tidak ada lagi orang yang membutuhkan jasa orang tua si pengasah pisau tersebut.

Ujian Nasional, Buah Simalakama?

Ujian Nasional (UN) untuk tingkat Sekolah Menengah Atas (SMA) telah berakhir namun pro dan kontra tentang diadakannya ujian nasional ini masih saja berlangsung. Ujian Nasional secara serentak mulai diadakan sejak tahun 2005 dimana UN dijadikan parameter kelulusan siswa secara mutlak. Pro dan kontra pun langsung menyeruak mengingat kelulusan seorang siswa tidak mungkin hanya dinilai hanya 3 hari saja walau telah belajar selama 3 tahun di sekolah ditambah masih belum meratanya fasilitas pendidikan di Indonesia maka penetapan target nilai minimum pada UN dianggap tidak masuk akal.

Selain itu tidak mungkin kelulusan hanya dinilai hanya pada mata pelajaran tertentu saja karena bisa jadi ada siswa yang memang secara akademik kurang memuaskan nilainya namun secara bidang lain seperti olah raga atau seni memiliki kemampuan yang luar biasa jadi penetapan UN sebagai syarat mutlak kelulusan dianggap hanya membebani siswa dan tentu saja guru. Usulan untuk memberikan kebebasan pada sekolah dalam penentuan kelulusan siswa juga ditolak oleh pemerintah karena dianggap tidak memenuhi standar kualifikasi kelulusan siswa yang seragam. Inilah yang akhirnya menyebabkan pro dan kontra UN menjadi semakin panjang dan lebar hingga tiap tahun selalu menjadi bahan perdebatan walaupun sistem kelulusan tahun ini berubah yaitu sekolah diberikan kesempatan untuk menilai siswa jadi tidak hanya 100% dari hasil UN.

Pada dasarnya ujian atau evaluasi bagi seorang siswa adalah perlu bahkan mutlak dilakukan untuk mengetahui sejauh mana perkembangan hasil didikan pada siswa tersebut. Namun membebankan UN sebagai syarat mutlak kelulusan juga bukan solusi yang tepat mengingat kapasitas individu berbeda-beda belum lagi faktor lain seperti kondisi sekolah dan tenaga pengajar.

Mensos dan Tini Si Anak Stress, Diejek Miskin dan Tak Bisa Beli LKS

Tulisan di bawah ini saya ambil dari tweeternya pak Mensos.

Kepada Pak Mensos saya mohon maaf. Saya tampilkan tanpa izin dari Bapak. Karena ini benar-benar menarik.

1. Ini kisah Agustini (putri 10 th) alami tekanan hdp, diejek kawan2nya sbg anak tak mampu.

2. Jum’at, 15/4, Tim Reaksi Cepat Kemensos mendgr kabar radio Elshinta ttg anak yg stress bawa cutter di bengkel Jl Prapanca, jaksel.

3. Jam 19.00 #TRC nuju lokasi, tp sang anak tlh dibawa Satpol PP ke Kel Cipete. Saat dicek ke Cipete, sdh dibw ke Walikota Jaksel.

Rabu, 20 April 2011

Dewi, Bocah SD yang Cacat Fisik itu Ingin Menjadi Guru

Meski kedua kakinya buntung dan kedua telapak tangannya tak sempurna, namun Dewi Sudarmi (6), siswi klas 1 SDN Kertagenah Laok 3 itu bercita-cita menjadi guru madrasah.
"Semula Dewi kepingin jadi perawat. Tapi setelah tahu jika perawat harus mondar-mandir memeriksa pasien, Dewi akhrinya berkeinginan jadi guru madrasah. Yang penting tugasnya membantu orang lain," kata Masihah, ibunya Dewi saat ditemui detiksurabaya.com, Selasa (29/3/2011).

Putri ketiga pasangan Ali Maki dan Masihah itu, memang cacat sejak lahir. Kaki kanannya buntung dari pangkal paha dan kaki kirinya buntung dari pangkal lutut. Cacat juga menimpa kedua telapak tanganya yang jemarinya tumbuh tak sempurna.

Meski cacat, semangat belajar Dewi tetap besar. Pagi sekali Dewi sudah bangun tidur, lalu minta disiapkan air mandi dan seragam sekolah. Dewi mandi sendiri dan mengenakan seragam sendiri.

Senin, 18 April 2011

Pengawas UN baca tabloid gosip

Hari pertama pelaksanaan ujian nasional (UN) tingkat SMA di Kabupaten Sukoharjo, Senin (16/4), diwarnai pelanggaran. Sejumlah pengawas UN yang bertugas di SMAN 3 Sukoharjo membaca koran di ruangan saat ujian tengah berlangsung.

Pelanggaran itu ditemukan Komisi IV DPRD Sukoharjo ketika melakukan inspeksi mendadak (Sidak) ke sekolah setempat. Sejumlah pengawas UN yang terpergok membaca koran berdalih jika koran tersebut sudah ada di meja pengawas sebelum ujian dimulai.

Dari pantuan Espos, dari 18 ruang yang disediakan untuk pelaksanaan UN di SMAN 3 Sukoharjo, semuanya ditemukan koran. Setiap ruangan, rata-rata disediakan dua hingga tiga jenis koran harian edisi terbaru, Senin (16/4) yang diletakkan di meja pengawas. Selain itu, Komisi IV juga menemukan tabloid gosip nasional yang dibaca pengawas di SMAN 3 Sukoharjo.

UN Gunakan Sistem Lima Paket

Dinas Pendidikan (Disdik) menerapkan sistem lima paket dalam satu ruangan pada pelaksanaan Ujian Nasional (UN) 2011. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari kecurangan.

Kepala Bidang SMP, SMA dan SMK Dinas Pendidikan, Dwi Atmojo Heri mengatakan ada kebijakan dari pusat dalam UN nanti dilakukan sistem lima paket dalam satu ruangan. “Dalam setiap ruangan ujian akan diisi sebanyak 20 siswa,” kata Heri saat di hubungi melalui ponselnya, Jumat (15/4).

Menurut dia, dari 20 siswa, nantinya setiap ruangan hanya empat siswa yang soalnya sama dan siswa lainnya berbeda. Namun, meskipun soal UN nantinya berbeda bobot kualitas soalnya sama. ”Siswa perlu belajar teliti dengan mempelajari banyak jenis soal saja,” katanya.

Minggu, 17 April 2011

Ujian Nasional untuk Apa? Kualitas Anak Didik di Tanah Air Tetap Rendah

Hari ini serentak diseluruh Indonesia akan dilakukan hajatan besar dari Kementerian Pendidikan Nasional (dulu P&K) yaitu test kemampuan anak-anak negeri ini dengan istilah UN, dan perlu dipertanyakan disini adalah apakah pengetahuan yang mereka miliki sudah sesuai dengan standard yang ditentukan oleh pemerintah?

Kini aturan dari Diknas adalah sebelum siswa tersebut dinyatakan lulus, sekolah harus mengirimkan hasil nilai sekolah ke Kemdiknas untuk digabungkan dengan hasil nilai Ujian Nasional, dengan menggunakan formula penggabungan 60 % Nilai Ujian Nasional dan 40 % Nilai Sekolah. Selanjutnya nilai tersebut dikembalikan lagi ke sekolah untuk direkapitulasi dengan mata pelajaran lain, seningga yang menentukan kelulusan tetap satuan pendidikan yang bersangkutan.

Fenomena Ujian Nasional kini banyak menghantui anak-anak sekolah, banyak hal-hal yang dilakukan mulai dari kegiatan yang mengandung positif hingga negatif sekalipun dilakukan oleh remaja tersebut, dengan maksud agar mereka dapat lulus dengan ujian nasional ini. Proyek ujian Nasional ini bergulir sejak tahun 2001 dan mulai dilaksanakan pada tahun 2003 dan kini sudah memasuki tahun kedelapan, adakah kemajuan besar dibidang pendidikan yang dicapai bangsa ini setelah bergulirnya 8 tahun proyek UN ini? wallahualam lulusan SMU di negeri ini hampir-hampir tidak berguna sama sekali, pengetahuan umum dan keterampilan hasil didikan bangku sekolah dan hasil ujian UN sama sekali tidak ada yang dapat diandalkan dari mereka, inilah sekilas hasil didikan umum di Negeri ini.

Peserta UN Jateng, 1.396.017 Siswa

Jumlah peserta Ujian Nasional (UN) 2011 untuk jenjang sekolah dasar (SD) hingga sekolah menengah atas (SMA) mencapai 1.396.017 siswa. Jumlah tersebut telah ditetapkan dalam daftar nominasi tetap (DNT) peserta UN 2011 dari data kabupaten/kota di Jateng.

Demikian dikatakan Kepala Dinas Pendidikan Jateng, Kunto Nugroho di Semarang, Senin (4/4). Jumlah tersebut, kata dia, terdiri atas siswa SD/sederajat sebanyak 571.167 siswa, 513.437 siswa SMP/sederajat, 153.912 siswa SMA/madrasah aliyah/SMA luar biasa, dan 157.501 siswa sekolah menengah kejuruan (SMK).

Menurut Kunto, persiapan penyelenggaraan UN di Jateng sampai saat ini sudah dilakukan, termasuk pembentukan tim panitia, sosialisasi, hingga penandatanganan pakta integritas dengan seluruh kepala dinas pendidikan kabupaten/kota.

Dari hasil evaluasi kelulusan siswa dua tahun terakhir, kata dia, tingkat kelulusan dalam UN mengalami kenaikan. Dari semula sebesar 94,56 persen pada 2009, meningkat menjadi 98,97 persen tahun 2010.

Siap Menghadapi Ujian Nasional 2011

Pelaksanaan Ujian Nasional 2011 untuk SMA/MA akan dilaksanakan serentak mulai 18 April sampai dengan 21 April 2011. Segenap persiapan telah dilakukan baik dari tingkat pusat hingga pada tingkat satuan pendidikan sebagai obyek pelaksanaan Ujian Nasional. Beberapa perbedaan signifikan pada pelaksanaan ujian tahun ini jauh-jauh hari sudah disosialisasikan kepada siswa sekaligus orang tua, dengan harapan, pada pelaksanaan ujian tahun ini siswa sudah siap baik secara materi dan mental, serta dukungan keluarga yang tentu saja memberikan kontribusi yang positif buat siswa.

Dalam tulisan saya terdahulu, sudah memunculkan wacana paket soal yang terdiri dari lima paket, Ini juga sebagai langkah strategis untuk lebih mempersiapkan siswa secara dini untuk mengantisipasi dalam pengerjaan soal terutama dalam penulisan kode soal. Kode soal untuk kelima paket utama tersebut adalah: 12 , 25, 39, 46, dan 54. Dalam setiap ruang ujian nasional yang maksimal 20 siswa disediakan 1 paket soal cadangan (jika terjadi kerusakan pada soal utama), yang berbeda dengan soal paket utama.

Yang perlu diperhatikan oleh siswa adalah dalam penulisan kode soal, ini harus benar-benar diperhatikan. Saat menerima soal terlebih dahulu dicek, baik kelengkapan maupun cetakan hurufnya jelas atau tidak. Jangan sampai sudah mengerjakan soal sampai separuh atau lebih baru diketahui bahwa soal tidak lengkap. Karena jika ini terjadi siswa akan menerima soal cadangan yang berbeda dengan soal utama dan dalam mengerjakan soal harus dimulai dari awal tanpa ada keringanan waktu untuk mengerjakan.

Kamis, 14 April 2011

Komnas PA: UN itu teror psikis pada anak

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menilai Ujian Nasional (UN) yang diselenggarakan pemerintah, Senin pekan depan, sama dengan teror psikis terhadap anak didik, orangtua, dan guru.

Hal itu dikarenakan ketakutan berbagai pihak akan pemenuhan angka kelulusan yang diterapkan pemerintah pusat.

“Komnas (Perlindungan Anak) menilai tanggal 18 sampai 20 sebagai hari stres nasional. Anak stres tidak lulus, gurunya stres, orangtua stres, pengelola sekolah juga stres karena takut 40 persen anak didiknya tidak lulus dan berdampak kepada penutupan sekolah,” kata Ketua Komnas PA Arist Merdeka Sirait.

Pernyataan itu disampaikan Arist dalam jumpa pers ‘Ujian Nasional Teror Psikis Negara Terhadap Anak’, di Kantor Komnas PA Jl TB Simatupang, Pasar Rebo, Jakarta Timur, Kamis (14/4/2011).

UN telan biaya Rp 587 M

Anggaran penyelenggaraan ujian nasional dan ujian kesetaraan tahun ini mencapai Rp 587 miliar. Soal-soal ujian nasional telah dicetak dan siap didistribusikan.
“Tetapi jangan kaget, ini bukan untuk SMA saja tetapi untuk semua,” kata Kepala Balitbang Kemendiknas, Mansyur Ramli, di ruangan Media Informasi, Gedung Kemendiknas, Jalan Sudirman, Jakarta Pusat, Rabu (13/4/2011).

Mansyur merinci angka tersebut digunakan untuk biaya penyelenggaraan UN SMP, MTs, SMPLB, SMA, Madrasah Tsanawiyah, SMALB dan SMK, yang mencapai Rp 353 miliar.

Untuk pengawasan Rp 67 miliar, penyelenggaraan UN SD totalnya Rp 62 miliar. “Itu mendapat bantuan dari provinsi,” ujarnya.

Rapor & Kekerasan Pada Anak


"Ribuan Kekerasan Pada anak terjadi saat anak menerima rapor. Apakah anda pernah melakukannya?" (google.com)

Sebentar lagi anak-anak akan menerima rapor. Setiap tahun ribuan bahkan ratusan ribu kekerasan pada anak terjadi saat anak menerima rapor. Anak dicela, dimarah, dibentak orangtua hingga dipukuli karena orangtua menganggap nilai rapor anaknya memalukan.

Fenomena kekerasan pada anak ini bisa membuat anak stres, bahkan sebagian menjadi pengalaman traumatik. Salah satu klien saya mengalaminya, trauma terhadap rapor.

Seorang pria tengah baya mengunjungi kami di Pelikan. Awalnya dia mengantar istrinya konseling karena kasus depresi. Usai istrinya bicara dengan kami, dia mengeluhkan trauma dengan rapor yang ia alami selama 40 tahun ini. Ia merasa setiap mendengarkan kata rapor, dia merasa tidak nyaman dan kadang perutnya masih sakit.

Begini kisahnya: Trauma Dengan Rapor

Pengembangan Kurikulum Home Schooling

Hadirnya homescooling beberapa tahun belakangan ini turut meramaikan dunia pendidikan Indonesia. Sebagai salah satu alternatif pendidikan yang relatif baru, tentu saja masih banyak kalangan yang meragukan homeschooling. Pernyataan seputar homeschooling pun muncul seperti tentang siapa gurunya, di mana tempat belajarnya, apa yang dipelajari, bagaimana proses belajar homeschooler (pelaku homeschooling), bagaimana evaluasinya dan lain sebagainya. Perntanyaan-pertanyaan tersebut sebenarnya adalah pertanyaan mengenai bagaimana kurikulum homeschooling itu sendiri. Berbeda dengan jalur Pendidikan Non formal seperti Paket A, Paket B, dan Paket C, sampai saat ini belum ada kurikulum baku yang ditetapkan oleh pemerintah untuk homeschooling. Dalam pelaksanaannya, setiap homeschooling memiliki kurikulum yang berbeda-beda.

Kurikulum homeschooling memang bersifat customized. Artinya, homeschooling memiliki pilihan untuk menentukan kurikulum yang diacu sesuai dengan kebutuhan dan minat homeschooler, ingin memperoleh ijazah resmi dari pemerintah dengan mengikuti ujian kesetaraan. Kurikulum yang digunakan harus diintegrasikan dengan kurikulum Departemen Pendidikan Nasional dan bahan-bahan pelajaran yang diujikan dalam ujian kesetaraan ke dalam program homeschooling yang dilaksanakan.

A. Homeschooling

Secara harfiah, homeschooling adalah sekolah yang diadakan di rumah, namun secara hakiki ia adalah sebuah sekolah alternarif yang menempatkan anak sebagai subjek dengan pendekatan pendidikan secara at home. Dengan pendekatan ini, anak merasa nyaman. Mereka bisa belajar sesuai dengan keinginan dan gaya belajar masing-masing, kapan saja dan di mana saja, sebagaimana ia tengah berada di rumahnya sendiri. (Versiansyah, 2007: 18)

Selasa, 12 April 2011

Kami Butuh Pendidik bukan Pengajar

Sungguh indah jika hidup ini penuh dengan ilmu. Kita bisa mengetahui mana saja yang baik dan mana saja yang tidak baik. Belajar dan terus belajar, merupakan cara untuk kita bisa pintar. duduk di bangku, dan menerima segala bentuk macam pelajaran. Di antara sekian banyak pelajaran yang diberikan pasti ada saja pelajaran yang tidak kita sukai.

Berbicara tentang pelajaran yang tidak disukai, bearti kita telah berbicara tentang bakat. Bakat orang berbeda-beda, dan tidak bisa dipaksakan untuk menjadi sama. Biasanya muncul pelajaran yang tidak disukai ini pada masa-masa SMA. karna pada masa ini seorang sudah ketika seorang harus bergulat dengan pelajaran yang tidak disukanya, pastilah ia akan melakukan suatu tindakan berontak. Dan yang terlihat oleh guru bukan tindakan berontak, melainkan kenakalan dari murid itu. Ketika sudah begini pasti yang menjadi kambing hitam adalah murid ini sendiri. Seolah-olah ia hanya akan menjadi sutu masalah untuk sekolah tersebut. Dan ujung-ujung nya ia akan dikeluarkan dari sekolah. Hanya karena seseorang yidak bisa pintar pada semua bidang. Ia harus dicap sebagai murid bandel.

Kepintaran orang berbeda-beda. Mengapa kepintaran itu tidak dimanfaatkan, mengapa seorang yang pintar di suatu bidang harus menerima pelajaran yang sangat jauh berbeda dari bakatnya. Jika sudah begini, apakah masih murid yang salah.? Seolah seorang murid ini malas dan tidak patut naik kelas. Jika hanya patokan kepintaran seseorang hanya melalui Ilmu eksak, dan juga kepintaran seseorang hanya diukur dengan seluruh mata pelajaran disekolah.?? Maka pasti ia akan akan terlihat benar-benar bodoh. Karena diluar sana untuk kita hidup, tidaklah hanya ilmu eksak dan ilmu pengetahuan disekolah saja yang perlu. Berbagai kepintaran juga sangat perlu. Seperti bakat olahraga contohnya.

RSBI Pembodohan Sistemik

Program Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) sampai saat ini terus mendapat kritikan. Mengapa? RSBI yang memiliki high level di banding sekolah lain ini kembali menjadi perhatian khusus karena banyak temuan yang mengindikasikan kualitas dan standart dari RSBI masih sangat jauh dari idealnya sekolah dengan citra internasional. Yang terbaru RSBI ternyata salah konsep.

Sangat beragam temuan -temuan kekurangan RSBI ini, diantaranya materi ajarnya, seperti yang diutarakan Kistono, anggota Badan Akreditasi Provinsi Jatim di Lembaga Penjaminan Mutu Pendidik (LPMP) Provinsi Jawa Timur, bahwa materi yang diberikan di sekolah-sekolah berlabel RSBI hingga kini kurang memadai. Sebab, penyusunan dan penyampaian materi tidak sepenuhnya berbasis internasional.(Duta Masyarakat, 19/11). Juga dalam penggunaan buku ajar, tidak semuanya -jarang- menggunakan bahasa inggris, hal ini diperparah dengan kualitas guru yang masih gagap dengan bahasa inggris. Padahal ciri utama dari RSBI adalah bahasa internasionalnya yakni bahasa inggris tersebut.

Penerapan program RSBI ini jelas akan menimbulkan persoalan baru di dunia pendidikan Indonesia. Salah satunya mengorbankan nilai-nilai keindonesiaan yang berujung pada memudarnya rasa nasionalisme dikalangan siswa. Semisal dengan kewajiban berbahasa inggris, bahasa inggris dijadikan sebagai bahasa pengantar pada proses pembelajaran sedang di sisi lain belum tentu juga siswa paham betul bahasa negerinya sendiri (indonesia). Selain itu penyampaian materi dengan bahasa inggris akan menjadi masalah bagi kedua belah pihak baik guru maupun siswa, guru bingung menyampaiakan materi yang ia pahami dengan bahasa inggris, sedang murid kesulitan menangkap substansi materi karena harus memahami dua hal sekaligus yakni memahami bahasa inggris sekaligus dituntut memahami isi materinya. Patutkah mengorbankan bahasa sendiri demi obsesi RSBI?

Belajar untuk Belajar

Dulu, dulu sekali….ketika saya masih anak-anak, dengan kondisi kehidupan yang serba susah dan terbatas bapak saya dengan getol selalu menyuruh saya sekolah, begitupun ibu saya tercinta, beliau akan segera ‘membelai’ telinga saya sampai merah jika mulai muncul gejala malas sekolah.

Nah cukup disitu, Ayah dan Ibu saya hanya menyuruh saya untuk sekolah titik, beliau tidak perduli dengan pelajaran apa yang saya pelajari hari ini, dapat berapa nilai ulangan saya, atau bagaimana PR untuk esok hari. Pendek kata mereka berdua menyuruh saya untuk sekolah bukan belajar. Saya hampir tidak pernah dimarahi jika nilai matematika saya di bawah 7 atau bahkan dibawah 3 sekalipin, mereka tidak pernah memaksa nilai pelajaran saya harus bernilai ’super’, yang terpenting adalah saya tidak mencontek dan tidak ‘badung’ di sekolah.

Dari sikap kedua orang tua saya, saya menjadi semangat untuk ke sekolah, bukan karena mengejar warna biru segar di raport tapi mengejar ilmu apapun yang bisa saya pelajari disekolah.Bukan karena takut dengan kedua orang tua, tapi karena merasa perlu untuk menjadi lebih bermanfaat. Sungguh sangat menyenangkan, bagi saya sekolah adalah surga, surga untuk membuka dunia baru.

Meski kondisi ekonomi yang ‘morat-marit’ perlakuan orang tua saya tidak pernah berubah, dan anak-anaknyalah yang semakin dewasa menyikapinya.

Minggu, 10 April 2011

Berhentilah Sekolah Sebelum Terlambat!

"Jika orientasi pendidikan adalah untuk mencetak tenaga kerja guna kepentingan industri dan membentuk mentalitas pegawai—katakanlah hingga dua dekade ke depan—yang akan dihasilkan adalah jutaan calon penganggur..."

Sekarang saja ada sekitar 750.000 lulusan program diploma dan sarjana yang menganggur. Jumlah penganggur itu akan makin membengkak jika ditambah jutaan siswa putus sekolah dari tingkat SD hingga SLTA. Tercatat, sejak 2002, jumlah mereka yang putus sekolah itu rata- rata lebih dari 1,5 juta siswa setiap tahun. Dalam ”kalimat lain”, ada sekitar 50 juta anak Indonesia yang tak mendapatkan layanan pendidikan di jenjangnya.

Jadi, untuk apa sebenarnya generasi baru bangsa bersekolah hingga ke perguruan tinggi? Jika jawabannya agar mereka bisa jadi pegawai, fakta yang ada sekarang menunjukkan orientasi tersebut keliru. Dari sekitar 105 juta tenaga kerja yang sekarang bekerja, lebih dari 55 juta pegawai adalah lulusan SD! Pemilik diploma hanya sekitar 3 juta orang dan sarjana sekitar 5 juta orang.

Jika sebagian besar lapangan kerja hanya tersedia untuk lulusan SD, lalu untuk apa anak-anak kita harus buang-buang waktu dan uang demi melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi?

Selasa, 05 April 2011

Colomadu jadi percontohan optimalisasi intelligencia anak

Colomadu, Karanganyar, ditetapkan menjadi percontohan optimalisasi kondisi kesehatan intelligencia anak oleh Kementerian Kesehatan. Kegiatan dipusatkan di Pediatric Neurodevelopment Therapy pimpinan Nawangsari Takarina MPsi yang berkedudukan di Colomadu, Karanganyar.

Hal itu disampaikan Kepala Sub Bidang Pemeliharaan dan Peningkatan Kemampuan Intellegencia Anak, Kementerian Kesehatan, dr Gunawan Bambang, kepada wartawan di sela-sela Pertemuan Orientasi Pemeliharaan dan Peningkatan Kemampuan Intelligencia Kesehatan di Hotel Lor In Karanganyar, Jumat (11/3).

Ia menerangkan selama ini belum ada penanganan anak berkebutuhan khusus (ABK) secara komprehensif sehingga mampu menghasilkan anak cerdas sebagai calon pemimpin masa depan. Anak yang cerdas, katanya, tak sekadar cerdas secara akademik, tapi anak yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti luhur.

Media bisa mempercepat proses pendidikan

Media berperan penting dalam menjembatani dan mendukung proses pendidikan dan penyebarannya. Namun di sisi lain masyarakat juga harus dididik agar lebih melek media untuk bisa memanfaatkannya dengan baik.

Demikian benang merah dari pernyataan para pembicara kunci dalam seminar media internasional yang bertajuk ower of Media to Extend Classrooms atau Peran Media dalam Memperluas Ruang Kelas yang digelar Institut Jurnalistik Internasional, Lembaga Kerjasama Internasional Jerman dan koran Frankfurter Allgemeine Zeitung (FAZ) di atrium kantor FAZ, Berlin, Jerman, Kamis (17/3/2011).

Dr Roland Gerschermann, Managing Director FAZ, menyatakan bahwa media selama ini sudah berperan aktif mendukung berbagai perubahan di berbagai negara, dengan contoh paling aktual yaitu pergerakan menuju pergantian pemerintahan di Mesir dan Tunisia, serta perjuangan serupa di Libya. Namun Gerschermann juga mengingatkan agar media makin meningkatkan kualitas pemberitaan untuk menjaga akurasi dan kepercayaan masyarakat.

Perlu, penguatan aspek spiritual dalam pendidikan

Penguatan aspek spiritual dalam pendidikan, khususnya pendidikan di Fakultas Hukum, perlu dilakukan. Hal ini menyikapi banyaknya penegak hukum di negara ini yang justru melanggar aturan.

Pendapat itu disampaikan Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UNS, Prof Dr Supanto SH MHum, saat jumpa pers di Rumah Makan Puspasari Solo, Kamis (24/3/2011). Pengukuhan Supanto sebagai guru besar ke-5 Fakultas Hukum UNS dan guru besar ke-140 UNS, akan dilaksanakan Rabu (30/3).

Supanto berpendapat, penguatan aspek spiritual dalam pendidikan calon penegak hukum diharapkan akan membentuk karakter penegak hukum yang relijius. Sehingga ketika bekerja, mereka akan selalu memohon petunjuk Yang Maha Adil, saat akan memutuskan suatu perkara. “Misalnya dalam sebuah pengadilan, seorang hakim ketika akan memutuskan suatu perkara, memohon petunjuk Yang Maha Adil terlebih dahulu. Sehingga diharapkan keputusan yang diberikan akan lebih adil dan bijaksana,” jelasnya.