Minggu, 29 November 2009

UN Menjebak Sekolah Menjadi Bimbingan Belajar


JAKARTA, KOMPAS.com. Indikator Ujian Nasional (UN) bukan merupakan indikator kualitas pendidikan nasional. Sebagus apapun hasil UN memang tidak mencerminkan kualitas mutu pendidikan nasional.
Demikian hal itu diungkapkan oleh dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Unika Widya Mandala Surabaya Dr Anita Lie kepada Kompas.com, Rabu (25/11) di Jakarta. "Asumsinya, meski tidak ada kecurangan dalam pelaksanaan UN sekalipun, hasilnya tidak akan mencerminkan kualitas mutu pendidikan nasional," ujar Anita.

Anita menambahkan, mutu pendidikan yang dimaksud adalah mutu pendidikan untuk pemerintah, tetapi bukan untuk anak-anak didik. Anita mengaitkan hal ini dengan dimajukannya jadwal UN pada Maret 2010 mendatang.

"Depdiknas terlalu memaksakan, siswa tentu saja stres," ujarnya.

UN Lebih Baik untuk Pemetaan Pendidikan Saja


JAKARTA, KOMPAS.com. Para pengamat sepaham bahwa pemerintah harus kembali ke sistem ujian kelulusan yang lama, menyusul keluarnya putusan Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa ujian nasional cacat hukum.
Ketua Komnas Perlindungan Anak Seto Mulyadi dan pengamat pendidikan dari Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia (UII) Eko Prasetyo mengatakan bahwa pemerintah sudah saatnya mengakomodasi putusan MA tersebut dan menghentikan rencana pengajuan peninjauan kembali (PK). Dengan demikian, selama empat bulan ke depan menjelang Maret 2010, pemerintah bisa fokus mempersiapkan pergantian sistem ujian kelulusan.

Seto Mulyadi, atau yang akrab dipanggil Kak Seto, berpendapat bahwa UN tak perlu dihapus. Selain itu, kata dia, pemerintah juga sudah terlanjur menggelontorkan persiapan dan anggaran.

"Tapi, UN bukan lagi ditentukan sebagai penentu kelulusan. Itu hanya dijadikan pemetaan. Dengan demikian, anak bisa lebih jujur dan dijadikan bahan evaluasi," tuturnya kepada Kompas.com, Kamis (26/11).

Tinjau Ulang Ujian Nasional


Mahkamah Agung kembali memenangkan gugatan masyarakat lewat citizen law suit terkait penyelenggaraan ujian nasional. Kasasi yang diajukan pemerintah yang menolak putusan pengadilan tinggi soal kemenangan masyarakat atas gugatan ujian nasional dinyatakan ditolak MA. (Kompas, 25/11/2009).
Keputusan MA ini menunjukkan pemahaman yang lebih baik tentang esensi pendidikan daripada yang ditunjukkan Depdiknas yang bersikukuh melaksanakan ujian nasional.

Berbagai argumentasi sudah dikemukakan para pakar, pemerhati, praktisi pendidikan, orangtua, dan siswa sendiri untuk menggugat kebijakan ujian nasional. Sementara itu, pemerintah masih akan kembali melakukan upaya hukum terakhir, yakni pengajuan peninjauan kembali. Sebaiknya semua pihak yang terlibat proses hukum ini bersikap arif dan mempertimbangkan realitas penyelenggaraan ujian nasional dan prinsip-prinsip evaluasi pendidikan.

Sekolah yang Menganggap Semua Muridnya Cerdas


”Di sekolah ini, kami menganggap bahwa semua anak itu cerdas, tidak ada anak yang bodoh...” kata Kepala Sekolah di salah satu SD yang kukunjungi waktu itu. Sebuah SD Islam yang menjadi salah satu tujuan bagi kami untuk menyekolahkan Mirza ke sana kelak. Di SD ini kami disambut dengan sangat ramah, terlihat sekali mereka sangat profesional menghadapi para orangtua yang sedang berkunjung ke sana untuk mendaftar atau baru sekedar survey seperti kami. Hal yang tak saya temui di SD-SD lain.
Lebih lanjut Bapak Kepala Sekolah tadi menjelaskan bahwa di sekolah itu menerapkan prinsip Multiple Intelegence dalam mendidik anak-anaknya. Saya belum banyak tahu tentang Multiple Intelegence (MI). Yang saya tahu bahwa MI menganggap bahwa kecerdasan seseorang itu tidak hanya dilihat dari IQ semata. Ada beragam kecerdasan lain yang diyakini bahwa setiap manusia minimal memiliki salah satu di antaranya.
Beliau juga menjelaskan bahwa MI ini dikembangkan oleh seorang bernama Howard Gardner.

Howard Gardner mengklasifikasikan jenis kecerdasan ini menjadi 8, yaitu:

1. Kecerdasan Linguistik
2. Kecerdasan Matematis-Logic
3. Kecerdasan Visual-Spasial
4. Kecerdasan Musical

Everyone Is Number One

SERI MOTIVASI DIRI : "Sebuah inspirasi dari lagu Andy Lau, tema lagu pada Olimpiade Beijing 2008"

Engkau, dia , aku, dan kita semua…Adalah SANG JUARA!
Vini! Vidi! Vici! Itu adalah slogan kita bersama…
Emas kehidupan harus kuraih dalam setiap kesempatan…
Raih dan capai yang TERBAIK, pasti aku bisa!
Yang terindah dan yang teristimewa selalu kupersembahkan…

Optimisku selalu penuh dalam setiap pertarungan hidupku setiap saat…
Namun…nilai-nilai sportif tak boleh dilupakan…
Entah ada yang melihat atau tidak, aku harus jujur pada diriku sendiri…

Sekolah Gratis vs Pendidikan Mutu

“Selawe kok njaluk slamet – 25 kok minta murah.”

Itu kira-kira yang dikatakan tukang becak, dalam humor orang Madura. Intinya, masih pula Anda meminta yang macam-macam –bahkan yang mendasar sekalipun- ketika kontribusi Anda sangatlah kurang. Namun justru logika inilah yang dikejar ramai-ramai oleh pihak elit politik di Indonesia. Di mulai dari presiden SBY sebagaimana yang dikutip dalam Tempointeractive (12/5/07).


“Pemerintah dalam hal ini Depdiknas telah menetapkan kebijakan pendidikan dasar 9 tahun bisa meningkat mutunya, akuntabel dan lebih merata dengan biaya yang tidak mahal dan terjangkau,” Ungkapnya. Dan tentu saja. Pendidikan murah harus (dipaksakan) dipadankan dengan ciri-ciri meningkat mutu, akuntabel, merata, tapi murah. Tentunya ada sesuatu yang hendak dibicarakan oleh para elit dengan mengucapkan semurah apa, jika sampai tidak mengorbankan apa-apa? Kenyataannya, bagi para elit pendidikan murah telah menjadi senjata paling ampuh dalam kampanye mereka.
Pendidikan murah, seperti halnya kesehatan murah adalah hal yang paling di cari di negeri ini. Seharusnya pemerintah telah mencanangkannya semenjak dahulu. Seperti ungkapan Lidya (22), mahasiswi Perguruan Tinggi Kependidikan yang tengah magang di salah satu sekolah Negeri, “Sekolah harus gratis. Dengan begitu, setiap keluarga di Indonesia mampu meningkatkan tingkat keterdidikannya.” Namun tentu saja tidak semudah itu. Sekolah gratis dalam pelaksanaannya seolah ‘merusak’ sebentuk kemapanan.

Cita-cita Besar di Jembatan Ujian Nasional

Mari perbaiki format yang ada ini, dengan tetap fokus terhadap siapa yang hendak kita saring dalam ujian. Dan bukan dalam format sekedar memenuhi unsur kenaikan statistik saja


“Doakan saya ya Bu.” Ucap Dania, seorang siswi pada Ibu Yeni guru bimbingan konseling. Setelah minta doa, sang siswi bersama teman-temannya yang sempat ‘salim’ bergegas ke ruang kelas. Hari ini hari kedua Ujian Nasional (UN) di SMU 20, di beberapa sudut ruang sekolah sebelum bel ujian dilaksanakan, tampak anak-anak sibuk membaca kembali buku paket soal-soal ujian, sementara kebanyakan di antara mereka lebih senang, mengobrol, melepas canda, seolah-olah tak ada yang penting pada beberapa menit kemudian. “Aku ingin jadi dokter di Unpad,” ungkap Vira Pertiwi, yakin. “Ngga, malah kelihatan kayak pasiennya” ucap Feby teman belajarnya, dengan canda. Semuanya tertawa.

Feby, Vira, kemudian Eri, pada beberapa bulan ini begitu serius mempersiapkan diri menghadapi ujian nasional. Entah melalui les di rumah kos Eri, di rumah Vira. Yang jelas bagi mereka ada cita-cita yang tak boleh kandas hanya karena UN. Cita-cita macam apa, ya tentu saja ke perguruan tinggi. “Karena sejatinya, SMU dipersiapkan untuk meneruskan ke perguruan tinggi.” Ungkap Tony Sutisna kepala sekolah SMU 20. Namun sementara ini jauh panggang dari api. “Kenyataannya di lapangan tidak seperti itu, ada faktor intelektualitas, ekonomi yang harus dihadapi para lulusan yang ingin melanjutkan.” Dengan demikian esensi UN kembali mendapat ujian.

Memahami Perbedaan Gaya Belajar Anak


Setiap anak itu unik. Tidak semua anak memproses suatu informasi dengan cara yang sama. Sebagai pendidik, pelatih dan orang tua kita harus mengetahui bagaimana perbedaan gaya berfikir mereka yang kemudian diterjemahkan ke dalam gaya belajar yang berbeda.
Adakalanya pendidik, pelatih maupun orang tua memaksakan kehendak untuk mengikuti gaya belajar mereka. Biasanya gaya berfikir diri sendiri akan mendominasi pendekatan yang digunakan saat mengajar. Sebagai pengajar, pelatih dan pendidik kita cenderung mengajar dengan cara yang sama seperti cara belajar yang kita sukai sendiri. Padahal dibalik gaya belajar individual anak ada satu manfaat yang besar dari balik kekuatan gaya belajar yang berbeda.

Umumnya para guru, pelatih dan orang tua diseluruh dunia masih mengalah pada kepercayaan-kepercayaan lama yang keliru mengenai belajar dan mengajar berikut ini:

1. Cara belajar yang terbaik untuk siswa adalah dengan duduk tegak di depan meja.

Rabu, 18 November 2009

Umumnya Guru Cuma Menjadi Pengajar, Bukan Pendidik


JAKARTA, KOMPAS.com. Definisi pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran sehingga anak didik dapat dengan aktif mengembangkan potensi diri.
Demikian hal itu diungkapkan oleh Ketua Komisi Nasional untuk UNESCO, Arief Rachman. Arief mengatakan, dengan mengembangkan potensi dirinya itulah, para siswa akan memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, serta kecerdasan akhlak.

Namun, lanjut Arief, yang terjadi sekarang justru adalah banyak guru yang tidak memfungsikan posisinya sebagai pendidik, tetapi hanya sebagai pengajar.

Silahkan, Pilih Tiga Model Pembelajaran Ini!



MEDAN, KOMPAS.com. Dalam bukunya "Classroom Instruction and Management" yang diterbitkan Mc.Graw-HiH Book Co pada 1997 silam, Richard L Arends mengatakan, keberhasilan proses pembelajaran dipengaruhi oleh empat faktor utama yaitu curriculum, teaching, learning and assesment.
Namun, khusus untuk faktor kedua, yaitu teaching, keberhasilannya sangat bergantung pada model pembelajaran yang diterapkan oleh sang guru. Karena saat ini, seorang guru yang baik tidak cukup mengajar hanya mengandalkan strategi-strategi pembelajaran, tetapi juga harus menguasai model yang baik agar memiliki arah yang lebih jelas dalam penyampaian materi ajarnya.

Sebenarnya, banyak model pembelajaran yang bisa diterapkan oleh seorang guru untuk semua tingkatan. Namun, mengutip ucapan Guru Besar Universitas Negeri Medan (Unimed) Mara Guna Harahap, model pembelajaran yang baik tersebut harus yang telah teruji melalui penelitian para ahli.

Dewasa ini, lanjut Mara, ada tiga model pembelajaran yang merupakan hasil penelitian para ahli di bidang pembelajaran. Ketiga model tersebut berisi pembahasan pembelajaran secara mendalam dan baik, yang tidak tercantum dalam mata kuliah apa pun. Ketiga model itu adalah direct instruction (DI), cooperative learning (CL), serta problem based instruction (PBI).

Multiple Inteligent Research YIMI Dijadikan Acuan


GRESIK, KOMPAS.com. Proses pembelajaran yang dilaksanakan di Yayasan Islam Malik Ibrahim (YIMI) Gresik, Jawa Timur, menjadi acuhan pembelajaran dari beberapa sekolah. Sebanyak 50 peserta studi banding dari lima sekolah berbeda, Rabu (18/11), langsung mengadakan peninjauan di lapangan untuk melihat proses pembelajaran tersebut di YIMI.
Lima sekolah itu, yaitu SD Mutiara Ilmu Bangil (Pasuruan), SD Sabilul Qoirot (Semarang), MIN Sedati (Sidoarjo), SD IT Al Uswa (Surabaya) dan SMP Muhammadiyah 9 (Surabaya), mengadakan Studi banding di TK, SD dan SMP YIMI Gresik. Kunjungan dimaksudkan untuk melihat lebih dekat proses pembelajaran yang diterapkan YIMI.

Kepala YIMI Abdul Hakim menjelaskan, dalam proses belajar dan mengajar yang diterapkan YIMI dengan metode Multiple Intelegent Research (MIR), yang artinya proses pembelajaran menekankan pada keunggulan kecerdasan siswa yang berbeda-beda sesuai dengan kemampuan siswa.

"Ada delapan logika yang diterapkan yaitu matematika, interpersonal, intrapersonal, naturalis, musikal, special visual, linguistik dan kinestetis. Ini yang membedakan cara belajarnya dengan sekolah lain," katanya.

Mendiknas: Teknologi Pendidikan Menjawab Persoalan Pendidikan


JAKARTA, KOMPAS.com. Pendidikan perlu terus menerus dikembangkan dengan memanfaatkan teknologi pendidikan. Dengan demikian, akses pendidikan masyarakat semakin terbuka luas dan berlangsung secara efektif dan efisien.
Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh pada Seminar dan Workshop Nasional Peran Teknologi Pendidikan dalam Meningkatkan Kualitas Pendidikan Nasional di Jakarta, Rabu (18/11) mengatakan, teknologi pendidikan perlu terus dikembangkan untuk menjawab persoalan ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas.

"Dengan teknologi pendidikan maka persoalan ketersediaan bisa dikurangi sebagian, demikian juga persoalan keterjangkauan," kata Nuh.

Teknologi pendidikan, kata Nuh, berperan sebagai pendukung dan penggerak proses pendidikan. "Dengan IT bisa menggerakkan bukan saja bab pelajaran yang diajarkan, taruhlah Matematika menggunakan IT, tapi sekaligus juga men-drive guru, murid, atau orangtuanya untuk belajar IT," katanya.

Dibuka, Beasiswa Pemerintah Jepang untuk Guru!


JAKARTA, KOMPAS.com. Kedutaan Besar Jepang kembali menawarkan beasiswa Pemerintah Jepang (Monbukagakusho) yang diperuntukkan bagi para guru pada tahun akademik 2010/2011. Beasiswa ditutup pada Januari 2010.
Program penataran guru nongelar tersebut akan berlangsung selama 1,5 tahun mulai Oktober 2010, termasuk enam bulan belajar bahasa Jepang. Syarat utamanya, pelamar harus berusia di bawah 35 tahun dan merupakan pengajar lulusan S-1 atau D-4 di jenjang SD, SMP, SMA/sederajat, baik dari sekolah negeri maupun swasta. Pelamar telah mengajar lebih dari lima tahun di lembaga pendidikan formal pada 1 April 2010.

Untuk beasiswa ini, semua bidang pengajaran ditawarkan kecuali untuk Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, Bahasa Arab, Pendidikan Agama, dan Perhotelan. Selain itu, pelamar harus bersedia belajar Bahasa Jepang karena bahasa pengantar di universitas adalah Bahasa Jepang.

I am The Winner

Motifasi Menghadapi Ujian atau UN


Seorang PECUNDANG akan berkata “Ini mungkin, tapi sulit” sedangkan seorang PEMENANG akan berkata “Ini sulit, tapi mungkin”
Sekarang kita tinggal memilih, kita akan menjadi siapa? Seorang pecundang atau seorang pemenang? Seorang pecundang yang hanya dengan melihat saja sudah menyerah, pasang kuda – kuda dan dalam hitungan ketiga lari menjauh. Seorang pecundang yang patah semangat, hilang kepercayaan diri, takut, dan percaya bahwa apa yang dilakukan akan percuma saja bahkan gatot (gagal total). Ataukah seorang pemenang, seorang pemenang yang percaya bahwa dia akan berhasil, dengan semangat, usaha, kerja keras, dan do’a dia percaya mampu menaklukkan dunia. Selanjutnya? Terserah anda!

Penulis yakin bahwa semua akan memilih menjadi seorang pemenang, karena memilih menjadi pemenang atau pecundang tidak sulit, sangat mudah hanya dengan memilih. Namun dalam pelaksanaan sulit untuk diterapkan.

Hidup adalah sumber masalah, pertempuran atau bahakan medan perang yang tidak akan pernah berhenti. Sejak kita lahir hingga membaca tulisan ini, semuanya pertempuran. Pertempuran melawan ketidakmampuan, ketidakberdayaan, dan juga pertempuran melawan ketidak maha tahuan kita.

Selasa, 17 November 2009

Demokratisasi Matematika


Satu kata yang tepat untuk melukiskan perasaan saya saat membaca berita di Kompas, edisi 4 November 2009. Di saat seluruh penjuru negeri terjebak dalam kegaduhan dan hiruk pikuk KPK Vs Polri, anak-anak SD kita menjadi juara umum pada 3rd Wizards at Mathematics International Competition 2009 di Lucknow, India. Dalam kompetisi yang diikuti oleh 9 negara dengan 34 tim (5 tim di antaranya berasal dari Indonesia), anak-anak kita membawa pulang 10 medali emas, 9 perak dan 5 medali perunggu. Anak-anak kita juga meraih nilai tertinggi untuk kategori individual competition dan juga team competition. Salut...!!!
Beberapa kali anak-anak kita menjuarai Olimpiade Matematika dan kejuaraan sejenis. Tapi apakah ini menjadi acuan bahwa pendidikan Matematika kita sudah bisa dikatakan unggul dibandingkan negara-negara lain ?

Berlawanan dengan fakta di atas, Kompas edisi 23 Desember 2004 pernah menulis sebuah laporan dari Trends in International Mathematics and Sciences Study (TIMSS) 2003 yang diselenggarakan oleh International Association for Evaluation of Educational Achievement (IEA). Menurut hasil tes TIMSS 2003 tersebut, kemampuan siswa kelas II SMP di Indonesia masih di bawah rata-rata internasional. Kemampuan rata-rata siswa Indonesia berada pada peringkat ke-34 dari 46 negara untuk matematika dan peringkat ke-36 untuk sains. Sayang, saya belum mendapatkan data terbaru mengenai peringkat indikator Indonesia tersebut.

Membaca dan membandingkan kedua fakta di atas, tampaknya pengajaran matematika belumlah merata di seluruh Indonesia. Ada yang sampai menjadi juara olimpiade internasional, tapi masih banyak juga yang berada di bawah negara-negara lain. Jadi masih banyak pekerjaan rumah yang harus kita kerjakan untuk mengejar ketertinggalan anak-anak kita di bidang matematika dan sains.

Jumat, 13 November 2009

Sertifikasi Guru Tidak Tepat Sasaran, Benarkah?


Membaca Kompak Cetak pagi ini, Jum’at 12 Nomber 2009 membuat saya harus jujur berkata bahwa sertifikasi guru belum tepat sasaran. Sebab, adanya sertifikasi guru bukan dijadikan sarana untuk benar-benar menjadi guru profesional dan bermartabat, tetapi sertifikasi guru hanya dijadikan ajang mencari tambahan penghasilan semata.
Saya baca pelan-pelan kompas cetak yang ada dihadapan saya,

Sertifikasi guru yang bertujuan meningkatkan kompetensi sekaligus kesejahteraan guru ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Guru yang telah lolos sertifikasi ternyata tidak menunjukkan peningkatan kompetensi yang signifikan.

”Dari kajian yang dilakukan, ternyata motivasi para guru mengikuti sertifikasi umumnya terkait aspek finansial, yaitu segera mendapat tunjangan profesi,” kata Prof Dr Baedhowi, MSi dalam pidato pengukuhan guru besar Manajemen Sumber Daya Manusia pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, Kamis (12/11).

Buat saya, apa yang disampaikan oleh pak Baedhowi ada benarnya, dan juga ada salahnya. Ada benarnya adalah kenyataan di lapangan guru yang mengikuti sertifikasi guru memang berharap banyak untuk lulus dan mendapatkan tunjangan sertifikasi yang besarnya satu bulan gaji. Hal ini jelas sangat menggiurkan. Bukan hanya profesi guru, Profesi apapun pasti akan berusaha untuk lulus karena iming-iming tambahan penghasilan satu bulan gaji.

Kalau tadi kita bicara benarnya, kini kita bicara salahnya.

Sertifikasi Guru Tidak Tepat Sasaran


Solo, Kompas. Sertifikasi guru yang bertujuan meningkatkan kompetensi sekaligus kesejahteraan guru ternyata tidak sesuai dengan yang diharapkan. Guru yang telah lolos sertifikasi ternyata tidak menunjukkan peningkatan kompetensi yang signifikan.
”Dari kajian yang dilakukan, ternyata motivasi para guru mengikuti sertifikasi umumnya terkait aspek finansial, yaitu segera mendapat tunjangan profesi,” kata Prof Dr Baedhowi, MSi dalam pidato pengukuhan guru besar Manajemen Sumber Daya Manusia pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Jawa Tengah, Kamis (12/11). Baedhowi adalah guru besar ke-188 di UNS Solo.

Dalam Rapat Senat Terbuka UNS yang dipimpin Rektor UNS Dr dr Much Syamsulhadi, SpKJ (K), Baedhowi—yang kini menjabat Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Departemen Pendidikan Nasional—membawakan pidato berjudul ”Tantangan Profesionalisme Guru pada Era Sertifikasi”.

Sertifikasi guru yang merupakan upaya pemerintah untuk meningkatkan mutu sekaligus kesejahteraan guru sasarannya bisa menjangkau 2,7 juta guru. Namun, hingga saat ini baru sekitar 500.000 guru yang lolos sertifikasi dan mendapat tunjangan profesi sebesar satu kali gaji.

Kamis, 12 November 2009

Persepsi Orangtua Menentukan Masa Depan Anak


Deni kecil berlari-lari menolak makanan yang hendak disuapkan ke mulutnya. Mamanya mengejar di belakangnya sambil berteriak,"Deni ayo makan ini sudah malam lho. Kamu nanti lapar. Mama masih banyak kerjaan yang lain nih!" Dari nadanya bisa tergambar perasaan putus asa dan tak tahu harus berbuat apa. Perasaan jengkel, marah, letih dan tak berdaya tercermin dalam tindakan dan perkataan sang mama. Si Deni dengan acuhnya berlarian kesana kemari.
Tak lama kemudian datanglah Ferry, kakak Deni, yang sudah duduk di bangku SMP. Sambil melemparkan tasnya ke sofa ia menuju lemari es dan meneguk minuman yang ada di sana. Setelah itu ia melepas sepatu dan kaos kakinya dan membiarkannya tergeletak begitu saja di depan lemari es. Lalu menuju ke kamarnya dan berteriak, "Mbak ambilkan makan dong. Lapar nih!"

Jika anda yang menghadapi peristiwa di atas apa yang akan anda lakukan? Apakah anda akan langsung menghardik mereka? Atau apakah anda akan memukul mereka karena sudah tidak tahan lagi dengan tingkah lakunya? Ataukah anda akan langsung memanggilnya dan memarahi mereka? Atau mungkin anda akan bertanya dengan lembut pada mereka apa yang sebenarnya terjadi pada diri mereka dan kemudian membantu mereka mencari solusinya?

Tidak begitu penting apa tindakan anda. Yang paling penting di sini adalah mencari tahu apa penyebab utama anda melakukan tindakan tersebut. Tidak penting apakah anda marah atau menanyainya dengan lembut. Yang penting adalah pemikiran dibalik tindakan tersebut. Inilah yang mengontrol diri anda selama ini. Pemikiran inilah yang melatarbelakangi tindakan anda mendidik dan mengasuh anak-anak. Kita menyebutnya dengan persepsi.

Darimanakah persepsi timbul? Persepsi timbul dari serangkaian pemikiran-pemikiran yang mengkristal. Pemikiran ini timbul dari beragam pengalaman yang mengesankan. Semua pengalaman kita di masa kecil akan menjadi pijakan dasar. Dari sinilah kita kemudian mengembangkan pemikiran yang lebih kompleks.

Rumah, Bukan Sekedar Tempat Bernaung!


Bukan perkara mudah membentengi anak dari berbagai perilaku buruk dan negative yang ia peroleh dari kawan-kawan pergaulannya. Dalam bergaul dan bersosialisasi tidak bisa dihindari adanya hukum mewarnai atau diwarnai. Realitas tersebut tentu masih lebih baik daripada membiarkan anak kita berdiam diri di dalam rumah, bermain dan berekspesi sendiri karena khawatir perilakunya terwarnai oleh kawan-kawannya di luar rumah. Saya menganggap bahwa semua itu adalah konsekwensi yang harus kita hadapi apalagi bila menetap di tengah masyarakat padat dan heterogen dengan latar pendidikan dan profesi yang beragam.
Terkadang ada saja hal ‘aneh’ pada diri anak kita yang ia dapatkan seusai bermain dengan kawan-kawannya di luar rumah. Apakah itu dalam bentuk perilaku atau kata-kata tidak sopan yang mangandung ‘kebun binatang’, dan sebagainya. Tugas kita selanjutnya adalah menetralisir perilaku buruk tersebut agar tidak menulari adiknya yang mungkin sedang dalam proses belajar meniru dan mencontoh setiap kata dan perilaku yang ia dengar dan saksikan.

Lingkungan sebagai ruang sosialisasi dan interaksi masyarakat adalah tempat ideal menanamkan nilai-nilai kebaikan sekaligus keburukan pada setiap individu yang hidup di dalamnya. Tergantung nilai apa yang dimiliki dan dibawa oleh individu tersebut. Pada lingkungan dimana rumah warga yang satu dengan lainnya terkadang hanya dipisahkan tembok pembatas atau halaman, kita bisa menemukan jalinan keakraban, bantu membantu, gotong royong dan kebersamaan itu tumbuh dengan baik. Kita masih dapat menyaksikan seorang tetangga mengirim makanan ke tetangga sebelah rumahnya, berombongan menjenguk tetangga yang sakit dan kebikan lain yang dilakukan secara bersama-saman. Nilai kebersamaan seperti ini terkadang hanya kita temukan di desa atau kampung yang jauh dari kota dan belum terkontaminasi budaya individualistik atau nafsi-nafsi.

Walau pada saat yang sama kehidupan masyarakat padat dan heterogen seperti itu juga rentan bermasalah dan berbenturan hanya karena masalah sepele; anak-anak berkelahi, suara radio atau televisi tetangga masuk ke dalam rumah, gosip dan sebagainya. Tapi bila kerukunan hidup lebih dikedepankan, ada tokoh penengah, rasionalitas melampaui egoisme, maka benturan-benturan tersebut bisa dihindari.

Selasa, 10 November 2009

Efektivitas Belajar di Bimbingan Belajar

Ini sedikit pengalaman dan sharing tentang pembelajaran di bimbingan belajar di mana penulis pernah menjadi pengajar di salah satu bimbingan belajar. Semoga dari pengalaman ini bisa diambil pelajaran dan perbaikan-perbaikan yang perlu dilakukan di masa datang.


Pada prinsipnya, pembelajaran di kelas-kelas Bimbingan belajar dilakukan dengan tujuan untuk mempersiapkan siswa terampil dalam mengerjakan soal-soal ujian. Pembelajaran dilakukan dengan fokus bagaimana siswa dapat mengerjakan soal dengan mudah dan cepat.
Materi pelajaran diberikan secara singkat dan padat. Dalam mencapai target materi yang sangat padat biasanya kelas-kelas di bimbingan belajar tersedia proyektor sebagai alat Bantu. Pembelajaran semacam ini mungkin sesuai untuk program intensif dalam menghadapi ujian masuk PTN maupun untuk kelas yang dirancang khusus untuk mempersiapkan siswa mengikuti ujian masuk PTN.

Akan tetapi pembelajaran yang berbeda harus dilakukan untuk kelas regular di mana pemahaman terhadap materi pelajaran tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu diperlukan pendekatan yang berbeda antara pembelajaran program regular dan program intensif. Pemisahan semacam inilah yang belum disadari dalam penyelenggaraan bimbingan belajar yang ada.

Nyontek Itu Haramlah!


Kios itu sebenarnya berupa kios rumahan, sebab memang ruang usaha itu adalah suatu ruangan dari sebuah bangunan rumah. Letaknya tepat di seberang jalan dari sebuah Perguruan Tinggi yang cukup terkenal di Ibukota. Di kios itu ada pelayanan jasa percetakan dan pengetikan. Papan namanya sih bertuliskan, “Sumber Harapan.”

Waktu tahun delapan puluhan ketika kios itu pertama kali dibuka, belum banyak usaha sejenis di dekat kios tersebut. Jadi, kios “Sumber Harapan” itu memang menjadi satu-satunya kios harapan bagi mereka yang membutuhkan jasanya. Lebih-lebih untuk mereka yang berasal dari kalangan Kampus di seberang jalan itu.

Berbagai keperluan barang cetakan untuk segala aktivitas kampus mampu dipenuhi oleh kios “Sumber Harapan.” O ya, ngomong-ngomong siapa sih pemilik kios tersebut. Pemilik artinya yang menyewa lho. Siapa ya penyewanya?

Kalangan Kampus di seberang jalan itu biasa memanggil pemilik atau tepatnya penyewa kios “Sumber Harapan” dengan sebutan, “Bang Djun”. Sampai sekarang sebutan itu masih cukup beken bahkan menjadi ‘trademark’ tersendiri.

Mendidik dengan Cinta



“Siapapun bisa marah. Marah itu mudah.Tetapi, marah pada orang yang tepat, dengan kadar yang sesuai, pada waktu yang tepat, demi tujuan yang benar, dan dengan cara yg baik, bukanlah hal mudah.” (Aristoteles, The Nicomachean Ethics)

Menjadi seorang pendidik adalah hal yang menarik dalam hidup saya. Apalagi di dunia anak yang penuh dengan keriangan. Walaupun mata pelajarannya tidak begitu sulit seperti tingkatan di atasnya mulai SD, SMP, SMA dan perguruan tinggi, namun menghadapi mereka membutuhkan kreatifitas metode mengajar dan kesabaran yang sangat luar biasa.

Menghadapi Adil contohnya, anak yang sangat cerdas serta begitu besar keingintahuannya terhadap hal baru, memang membuat saya hampir kehilangan akal. Adil adalah salah satu murid saya di sebuah taman kanak-kanak Islam bertaraf International di kota Medan. Sebenarnya Adil sudah pernah belajar di taman kanak-kanak lain, tetapi karena lokasi sekolah yang lama lebih jauh, akhirnya orangtuanya memasukkan Adil ke sekolah Internasional ini yang baru dibangun dan lebih dekat dari rumahnya, kata mamanya biar lebih mudah mengontrol anaknya.

Adil selalu bertanya hal-hal yang menurut dia belum jelas, sampai dia benar-benar mendapatkan jawaban yang memuaskan hatinya barulah ia akan berhenti. Tetapi kelemahannya adalah malas menulis, bila mendapat tugas menulis, Adil cepat merasa bosan dan hanya mampu bertahan 1 menit untuk menulis. Biasanya kalau sudah bosan dia mencari aktivitas lain, mulai dari menggangu teman, berlari keliling kelas, atau mencorat-coret di papan tulis di depan kelas. Hal demikian berlangsung setiap hari di kelas saya. Dan khusus untuk adil selalu saya siapkan lembar kerja tambahan sebagai alternatif kegiatan. Saya tidak pernah memaksanya untuk menyelesaikan tugas-tugasnya, saya hanya membuat standart minimal tugas untuknya.

Kepada Pelajar yang Mencontek dengan Beralasan Membantu Orang Tua


Anak-anakku, Bapak tahu tugas yang kalian kerjakan banyak dan berat. Tahukah kalian bahwa dengan itulah kalian akan menjadi mandiri dan kuat?
Semua anak menginginkan banyak waktu luang untuk bermain. Tetapi kelak semua akan beranjak dewasa dan diberi berbagai tanggung jawab. Jikalau mulai sekarang kalian sedikit demi sedikit melatih diri dan mengasah kemampuan, maka itu tidak akan seberat dibanding melakukan semuanya sekaligus setelah kallian lulus.

Bagi yang memilih cara yang curang, PR, tugas, dan ulangan semua bisa saja mencontek dan mendapat nilai yang tinggi. Tetapi ingat…! Dengan begitu tidak akan pernah didapat KEMAMPUAN yang tinggi. Hanya dengan melihat petinju berlatih tidak serta merta membuat yang melihat ikut kuat, kita harus ikut melakukannya sendiri; berlatih, berkeringat, bersusah payah, dan barulah kekuatan itu kita peroleh sesuai dengan usaha kita.

Pelaku pembuat video porno dikeluarkan dari sekolah


Solo (Espos). Pihak sekolah bertindak tegas terkait kasus video dan gambar porno yang dilakukan siswa SMP dan SMA terkemuka di Kota Solo dengan mengembalikan siswa kepada pihak orangtua alias dikeluarkan.
Beradarnya video dan gambar porno siswa SMA dan SMP beberapa waktu lalu, membuat pihak sekolah tidak punya pilihan selain menerapkan aturan secara tegas. Kasus yang melibatkan pelaku dalam video porno tersebut berinisial Irw, 18, siswa SMA N 6 Solo dan Ps, 13, siswi SMP N 1 Solo, saat ini tengah ditangani pihak Polisi.

Kepala SMA N 6 Solo, Makmur Sugeng mengatakan telah ada tindakan tegas dari pihak sekolah terkait kasus tersebut, karena dinilai telah melanggar tata tertib yaitu mencemarkan nama baik sekolah dan konsekuensinya yang bersangkutan harus pindah. Dia mengatakan, pihak sekolah telah menjalin komunikasi dengan keluarga Irw dan mereka telah menerimanya.

Jalur Gaza

Ini bukan cerita tentang Palestina. Ini cerita tentang Jakarta. Tentang sebuah sekolah.


Di TV diberitakan tentang seorang siswa kelas 1 di sebuah SMA Negeri di Jakarta. Ia dijemput paksa oleh sejumlah seniornya, dibawa ke sebuah taman, lalu dianiaya. Ia mengalami luka-luka di wajah. Bibirnya robek, wajahnya lebam-lebam. Ia harus menjalani rawat inap di rumah sakit selama beberapa hari.
Apa pasal? Alkisah, siswa kelas 3 menetapkan beberapa jalur di sekolah yang mereka sebut Jalur Gaza. Jalur ini tidak boleh dilewati oleh selain anak kelas 3. Si anak yang teraniaya tadi lalai. Ia melewati jalur itu.

Cerita ini sungguh menyesakkan dada saya. Di sekolah, tempat anak-anak harusnya dididik dan dikendalikan, ada manusia-manusia fasis yang bisa seenaknya membuat aturan. Di sekolah, tempat di mana seharusnya guru-guru yang mengatur, ada sekelompok murid yang punya kekuasaan mengatur. Dan mereka mengatur dengan kekerasan!

SBY kritik metode pendidikan nasional


Jakarta. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengkritik metode pendidikan nasional yang tidak mendorong siswa untuk mengembangkan inovasi dan kreatifitas sehingga sulit memunculkan para wirausaha maju.
“Saya ingatkan Mendiknas, coba sejak TK, SD, SMP, SMA itu metodologinya jangan guru aktif siswa pasif, dan hanya sekadar mengejar ujian, rapor. Kalau itu yang dipilih maka anak-anak bersekolah tidak berkembang kreativitasnya, inovasi dan jiwa wirausahanya,” kata Presiden saat membuka Temu Nasional 2009 di Jakarta, Kamis (29/10).

Menurut dia, jiwa wirausaha atau enterpreneur penting untuk dipupuk sejak kecil, sehingga pendidikan nasional tidak hanya melahirkan para pencari kerja tetapi pencipta lapangan kerja.

“Ini perlu reformasi di bidang pendidikan nasional. Guru dan dosen harus diajak untuk bisa mengembangkan jiwa kewirausahaan, inovasi dan kreativitas,” katanya.

Minggu, 08 November 2009

23 Wajah Manusia di Wall Facebook


1. Manusia Super Update

Kapanpun dan di manapun selalu update status. Statusnya tidak terlalu panjang tapi terlihat bikin risih, karena hal-hal yang tidak terlalu penting juga dipublikasikan.
Contoh : “Lagi makan di restoran A..”, “Dalam perjalanan menujuneraka..”, “Saatnya baca koran..”, dan sebagainya.

2. Manusia Melankolis

Biasanya selalu curhat di status. Entah karena ingin banyak diberi komentar dari teman-temannya atau hanya sekedar menuangkan unek-uneknya ke facebook. Biasanya orang tipe ini menceritakan kisahnya dan terkadang menanyakan solusi yang terbaik kepada yang lain.
Contoh : “Kamu sakitin aku..lebih baik aku cari yang lain..”, “Cuma kamu yang terbaik buat aku..terima kasih kamu sudah sayang ama aku selama ini..”.

3. Manusia Tukang Ngeluh

Pagi, siang, malem, semuanya selalu ada aja yang dikeluhkan.
Contoh : ” Jakarta maceeet..!! Panas pula..”, “Aaaargh ujan, padahal baru nyuci mobil..sialan. .!!”, “Males ngapa2in.. cape hati gara2 si do’ i..”, dsb.

Prestasi Dua Pelajar SMA Mengharumkan Nama Indonesia

Tadi pagi saya melihat tayangan berita di salahsatu stasiun televisi swasta nasional. Diantara berita tentang Susno Duaji, Anggodo, Anggoro, KPK, Polri , dsb, terselip sebuah berita yang menggembirakan bagi masyarakat Indonesia.


Adalah berita mengenai Deby Jannati Gustiwi (16) dan Shona Mazia (17), dua orang pelajar kelas 12 SMA Semesta Bilingual Boarding School semarang, yang berhasil meraih juara I pada ajang lomba penelitian antar siswa yang diikuti sekitar 22 negara dari Asia, Eropa, dan Amerika Latin. Deby dan Shona Mazia meraih medali emas pada perhelatan Monstra International Sains and Technologi (Mostratec) yang diselenggarakan di Brasil pada tanggal 24-31 Oktober 2009.
Dalam ajang itu, Deby dan Shona, meneliti manfaat kulit singkong sebagai bahan yang bisa menyerap bahan aktif berbahaya.

Sistim Pendidikan Pada Masa Keemasan Islam dan Kritik Terhadap Pelaksanaan Ujian Nasional: Studi Komparasi Historis

A. Sekilas Tentang Kontroversi Ujian Nasional

Pelaksanaan Ujian Nasional di Indonesia telah dimulai sejak tahun 2004 silam, sebagai bagian dari rencana jangka panjang pemerintah meningkatkan kualitas pendidikan nasional. Pada awal pelaksanaannya mata pelajaran yang diujikan bersifat umum meliputi bahasa Indonesia, matematika dan bahasa Inggris. Namun pada tahun 2009 jumlah mata pelajaran yang diujikan meningkat menjadi enam mata pelajaran yang disesuaikan dengan penjurusan siswa (kelas Bahasa, IPA dan IPS). Begitu pun standar nilai rata-rata ditingkatkan secara bertahap dari tahun ke tahun, mulai dari 4.1 hingga sekarang rata-rata 5.5. Jika pada awalnya UN hanya diperuntukkan pada tingkat menengah atas (SMA) sekarang meliputi juga SMP dan bahkan SD.

Berdasarkan definisi awalnya UN merupakan ujian tertulis yang menjadi salahsatu faktor penentu kelulusan siswa. Sampai di sini tidak ada masalah dan telah menjadi suatu keharusan dalam sistim pendidikan modern. Permasalahan muncul ketika UN diberlakukan secara nasional dan menjadi satu-satunya faktor yang menentukan kelulusan siswa bersangkutan. Dalam argumennya pemerintah menekankan bahwa UN perlu terus dijalankan untuk meningkatkan kualitas SDM Indonesia agar tidak semakin tertinggal dari negara-negara lainnya, dan untuk kepentingan pemetaan pendidikan. Dalam catatan pemerintah juga disebutkan bahwa dari tahun ke tahun telah terjadi peningkatan jumlah kelulusan siswa, dan betapa ternyata UN juga terbukti telah meningkatkan semangat belajar siswa dan kualifikasi guru bersangkutan.

Sementara di sisi lain, sebagian budayawan dan pakar pendidikan nasional kerap mengkritisi kebijakan standarisasi UN. Megawati misalnya, dalam kapasitasnya sebagai budayawan, menilai UN sebagai anti kebhinekaan karena mengabaikan perbedaan-perbedaan kultur lokal dan geografi; sementara Winarno Surakhmad menilai UN sebagai salahsatu bentuk reduksionisme pendidikan di Indonesia. Dalam pandangannya Indonesia tidak bisa diseragamkan, harus ada pembedaan dan penekanan yang khas daerah masing-masing. Kritik lainnya menyangkut efek domino negative dari diberlakukannya standarisasi UN secara nasional, seperti: ditekannya kreativitas guru dan sekolah, terpinggirkannya ilmu akhlaq dan budaya, tersitanya waktu luang siswa untuk kegiatan mandiri sebagai akibat dari fokus siswa dan pihak sekolah terhadap UN semata.

Bimbingan Belajar dan Bisnis Pendidikan


Tumbuhnya berbagai bimbingan belajar menjadi satu fenomena menarik dan menjadi catatan tersendiri bagi dunia pendidikan di Indonesia. Ketidakpuasan terhadap kondisi pembelajaran di sekolah diyakini sebagai salah satu penyebab tumbuh suburnya berbagai bimbingan belajar tersebut.
Sekolah yang memiliki otoritas sebagai tempat untuk menyelenggarakan pendidikan sering dipertanyakan perannya. Hal ini adalah salah satu masalah yang ada dalam dunia pendidikan di Indonesia.

Sebagai alternatif belajar di luar sekolah banyak siswa yang menggantungkan harapannya pada bimbingan belajar untuk mendapatkan materi yang tidak diajarkan di sekolah. Dengan adanya proses penerimaan di PTN melalui ujian tertulis semakin menambah daya tarik siswa terhadap bimbingan belajar.

Seiring dengan itu banyak bermunculan bimbingan belajar untuk merespon tantangan ini. Namun, kenyataannya kondisi ini tidak diiringi dengan kesungguhan penyelenggara bimbingan belajar dalam melaksanakan proses pembelajaran.

Biaya pendidikan makin mahal jadi dilema


Jakarta (Espos). Rektor Universitas Paramadina Jakarta, Dr Anis Baswedan mengatakan, biaya pendidikan yang makin mahal menjadi dilema bagi Indonesia yang sedang mengalami transformasi menuju negara maju.
”Dalam proses transformasi membutuhkan generasi muda yang memiliki pendidikan baik. Jika biaya pendidikan mahal maka hanya orang-orang mampu secara finansial yang bisa menikmati pendidikan,” kata Anis Baswedan, di Jakarta, Minggu (1/11).

Dikatakannya, banyak masyarakat Indonesia yang cerdas tapi tidak bisa menikmati pendidikan tinggi karena tidak memiliki kemampuan finansial. Jika hal ini terus berlangsung, kata dia, pada sekitar 30 tahun mendatang, masyarakat kelas menengah dan dari keluarga sederhana tidak bisa tumbuh.

Menggagas Pendidikan Partisipatif


Masih banyak para orang tua dan guru kita yang belum siap untuk mengusung konsep partisipatif dalam ranah pendidikan di sekolah formal maupun di rumah tangga. Streotif yang selalu dimunculkan adalah bahwa kalau anak terlalu diberikan kebebasan maka dia akan berlaku tidak sopan dan cenderung melawan orang tua atau guru. Streotif lainnya adalah bahwa anak belum tahu apa-apa, serta belum saatnya mereka bicara dan lain sebagainya. Hal inilah yang menyebabkan pendidikan kita tidak berkembang.
Munculnya streotif tersebut tentunya dipengaruhi faktor budaya dan kepentingan politik penguasa tertentu, agar pendidikan menjadi alat legitimasi untuk mendukung kekuasaan. Seperti yang diterapkan pada masa Presiden Soeharto yang menjadikan pendidikan sebagai alat untuk melegitimasi kekuasaan.

Namun seiring perjalanan waktu masyarakat menginginkan reformasi di dunia pendidikan yang selama ini telah terkontaminasi dengan politik kekuasaan serta budaya yang tidak sehat dalam sistem pendidikan nasional. Untuk itulah sudah saatnya Dunia Pendidikan kita menerapkan pendidikan partisipatif yang memberdayakan anak didik.

Lantas apa yang dimaksud dengan pendidikan partisipatif tersebut serta apa perbedaannya dengan ssitem pendidikan yang selama ini telah berlangsung.

10 Kunci Menjadikan Anak Sukses


Bila anda bertandang ke sekolah kami, maka anda akan menemukan tulisan di sebuah papan panjang yang sengaja ditempelkan oleh pengelola sekolah untuk dibaca banyak orang. Kesepuluh kunci itu telah terbukti mengantarkan anak-anak Labschool Jakarta menjadi sukses.
Tulisan yang menarik itu adalah 10 Kunci Menjadikan anak Sukses. Tentu semua itu membutuhkan peran dari orang tua siswa dan guru. Kesepuluh Kunci itu adalah:

1. Menanamkan nilai-nilai agama/spiritual sedini mungkin untuk menguatkan hati nurani
2. Mengembangkan potensi anak seoptimal mungkin
3. Membangun Harga Diri anak

Kamis, 05 November 2009

Kurikulum 2010-211 Berbasis Kewirausahaan


JAKARTA. Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) menyiapkan konsep kurikulum berbasis kewirausahaan yang rencananya mulai diterapkan pada tahun ajaran 2010-2011.
Usai rapat koordinasi menteri bidang kesejahteraan rakyat di Jakarta, Senin (2/11), Menteri Pendidikan Nasional, Muhammad Nuh, mengatakan pihaknya akan menyelesaikan penyusunan kurikulum berbasis kewirausahaan tersebut dalam seratus hari pertama kerjanya.

"Program seratus hari kan November, Desember sampai Januari. Paling 'banter' awal Februari penyusunan konsep kurikulum entrepreneurship sudah dirampungkan sehingga diharapkan pada tahun ajaran baru sudah bisa melekat dalam kurikulum 2010-2011," katanya.

Selasa, 03 November 2009

Tak Boleh Ada Diskriminasi dalam Pendidikan


JAKARTA, KOMPAS.com. Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Moh. Nuh mengingatkan, dalam dunia pendidikan tak boleh ada sikap diskriminatif yang disebabkan adanya perbedaan kaya dengan miskin akibat faktor wilayah kota dan desa sehingga seseorang kehilangan hak untuk mendapatkan pendidikan.

Pernyataan itu dikemukakan Nuh dalam jumpa pers seusai menghadiri seminar internasional pendidikan madrasah negara E-9 di Hotel Borobudur Jakarta, Selasa (3/11).

Negara E-9 adalah negara yang berpenduduk besar dan peduli dalam memajukan pendidikan. Negara itu adalah Banglades, Brasil, China, India, Indonesia, Meksiko, Mesir, Nigeria, dan Pakistan.

Sementara itu, Menteri Agama Suryadharma Ali di kesempatan yang sama mengatakan, pendidikan di madrasah mengacu kepada kurikulum pendidikan nasional ditambah pendidikan agama.

Tips Merawat Komputer


Baiklah temen temenku semua disini saya akan berbagi informasi tentang tips merawat komputer,untuk merawat komputer bisa dibilang gampang gampang susah,kita harus bisa menyiasatinya agar komputer kita awet dan tidak mudah rusak.

Ada beberapa tips yeng perlu diperhatikan diantaranya adalah:

1. Sediakan UPS, Sering kali tegangan listrik turun-naik atau bahkan mati tiba-tiba akan berdampak kurang baik pada PC , terutama PC yang sudah lama, akan mengakibatkan rusaknya Power Supply, rusaknya Hardisk, bahkan Morherboard.
Terutama hardisk, hardisk perlu kesetabilan saat bekerja, bila tiba-tiba listrik mati terjadilah kejutan yang bisa menyebabkan tergoresnya track tecordingnya maka timbulah bad sector, bad sector hanya bisa dilihat jika kita check lewat scandisk. bad sector tidak bisa di isi file untuk operasional system maupun menyimpan data, sehingga akan mengurangi kapasitas hardisk itu sendiri. Karena itu di usahakan agar disediakan UPS atau External battery sebagai pengaman bila terjadi mati lampu maka komputer tetap hidup untuk beberapa waktu, sehingga masih ada kesempatan untuk mematikan komputer sesuai prosedur.

Anak-Anak Kita dan Media Online


Suatu saat ketika sedang berkunjung di Gerai Samsung Pacific Place, ngeliatin anak-anak masih seumuran SD, lagi asyik main-main ama temennya di komputer yang ada di gerai itu. Kebetulan disana pengunjung emang bebas make koneksi internetnya. Terus jadi tertarik buat ngamatin, mereka browsing apa sih? Ouwww ternyata mereka search di google, pake kata kunci setan.

Dari situ jadi kepikiran, ummm kayaknya anak-anak Indonesia ini selalu terpinggirkan, setelah lagu-lagu anak yang makin gersang, tempat bermain terbuka yang juga langka. Kini di Online juga, mereka gak punya banyak pilihan.

Begitu banyak portal-portal yang tumbuh di online, tapi coba pikir deh berapa sih yang ditujukan buat anak-anak? Setahu saya cuma Kidnesia, Trans Anak, sama Vivanews Kids. Dan dari yang sedikit ini, Vivanews Kids pun, link kanalnya tersembunyi di ujung dan tak terlihat di portal Vivanews.com.

Jadi tak bisa disalahkan sepenuhnya kalo anak-anak ini, akan lebih banyak nyari gambar porno, atau mungkin main games. Karena situs yang edukatif dan memang sesuai dengan umur mereka sangat jarang.

Ulangan Remidi, Kegiatan yang Harus Dipikirkan Ulang


Setelah berkali-kali melakukan ulangan, dan hasilnya selalu ada ulangan remidi, maka hal ini mulai mengganggu saya, mengingat untuk melakukan ulangan remidi, harus dipersipakan soal-soal baru, belum lagi mengkoreksinya. Soal-soal yang baru ini juga harus dibedakan setiap kelas, bahkan di setiap kelas juga dibedakan menjadi dua tipe untuk meminimalisisr kemungkinan anak mencontek. Segala kerepotan ini sungguh sangat menyiksa saya, hingga kemudian timbul pertanyaan, mengapa harus ada ulangan remidi?

memang harus diakui, ini adalah kebijakan pemerintah yang harus kita dukung, untuk mengetahui sejauh mana kompetensi siswa, agar semua siswa kita bisa mengetahui semua materi dengan baik. Jadi, jika ulangan gagal dan tidak kompeten, maka akibatnya mereka harus melakukan ulangan remidi.Jika ada ulangan remidi dan semua kompeten, maka semua siswa berarti mampu menguasai materi yang sudah diajarkan. namun apakah praktik di lapangan memang benar sebaik itu?

Sepintas, hal ini sungguh merupakan hal yang sangat mulia, namun dalam pelaksanaannya tidak seperti itu. Anak menjadi nggampangke, tidak terkondisikan untuk belajar dengan sungguh-sungguh. Saat terjadi ulangan, maka anak dengan entengnya bertanya kapan dilakukan ulangan remidi. Apalagi jika mengetahui jenis soalnya dan mereka tidak mampu menjawabnya, maka mereka langsung bertanya, kapan akan dilakukan remidi?

Mengapa Pendidikan Kita Tak Maju–maju?


Soal – soal pilihan ganda yang seringkali kita gunakan untuk mengevaluasi belajar siswa serta untuk Ujian Nasional dikritisi. Soal – soal berupa pilihan ganda dikatakan hanya akan membuat pelajar menjadi penghafal dan bukan orang yang menalar ilmu pengetahuan. Karena itulah pelajar kita hanya memiliki ilmu pengetahuan tanpa tahu bagaimana untuk menerapkannya.
Jika memang seperti itu keadaannya, mengapa hal ini dibiarkan terus berlarut? Mengapa dari tahun ke tahun soal pilihan ganda saja yang dipakai? Bukankah Indonesia memiliki banyak pakar pendidikan yang sudah pasti tahu bahwa ada yang salah dengan memakai soal model pilihan ganda ini?.

Meskipun dikatakan tidak baik, soal pilihan ganda memiliki beberapa keuntungan. Pertama, bagi beberapa siswa, soal semacam ini memungkinkan bagi mereka untuk “berjudi” jika mereka tidak tahu jawaban yang pasti dari soal mereka hadapi. Sudah banyak diketahui di kalangan siswa kebiasaan untuk menghitung kancing baju jika mendapati soal yang sulit. Penghitungan kancing baju ini serupa menghitung suara tokek. Jika tokek berbunyi sekali itu wakil dari jawaban “A”. Tokek berbunyi dua kali, itu Jawaban “B” begitu seterusnya hingga bunyi tokek yang terakhir itulah jawabannya.

Cara Cepat Baca Buku


Rata2 per kapita Orang Amerika baca buku 100 buah per tahun. Sementara orang Indonesia dan Malaysia cuma 2 buku saja per tahun per kapita. Ini menunjukkan betapa jauh perbedaan tingkat pengetahuan yang dipunyai antara orang Amerika dengan orang Indonesia dan Malaysia.

Mengapa sebagian orang dapat begitu cepat membaca buku. Sementara ada juga yang sangat lambat dalam membaca. Lambat macam siput. Susah sekali memahami apa isi buku yang sedang dibacanya.

Membaca artinya juga sekalian memahami isi buku tersebut. Kalau membaca tapi tak paham apa maksud isi buku tersebut, itu namanya belum membaca.

Lalu bagaimana caranya supaya dapat cepat baca buku dan memahami isinya…?