Jumat, 30 Oktober 2009

Mendidik dan Membesarkan Anak Anda


Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang di perlukan dirinya dan masyarakat.
Setiap orang tua tentu mendambakan keberhasilan dalam pendidikan anak-anaknya. keberhasilan dalam pendidikan seringkali dinilai dari pencapaian prestasi yang berhasil diraihnya. Sayangnya paradigma tersebut untuk mencapai prestasi seseorang seringkali mengalami dikotomi, sehingga hanya pencapaian dalam bidang akademis dan eksakta yang di anggap sebuah prestasi, adapun untuk pencapaian di bidang yang lain seperti musik, sosial,dll, belum dianggap dan di sadari bagi sebuah prestasi.

Lima prinsip dasar pendidikan adalah kemerdekaan (freedom), kodrat alam (potensial), kebudayaan (culture) kebangsaaan (nationality) dan kemanusian (humanity). tujuan akhir pendidikan adalah mengenal diri sendiri, siapa yang mengenal dirinya pasti mengenal TUHAN nya juga. setiap anak/individu adalah unik punya bakat/potensi yang tidak bisa di samaratakan.

Kamis, 29 Oktober 2009

Polisi Sidoarjo Selidiki Soal Ujian Cabul

Kamis, 29/10/2009 12:30 WIB
Zainal Effendi ~ detikSurabaya


Surabaya. Polres Sidoarjo turun tangan menyelidiki kalimat cabul yang "menyusup" dalam soal ujian tengah semester (UTS) mata pelajaran Bahasa Indonesia untuk kelas VI SD di Sidoarjo. Polisi saat ini sudah memanggil tiga orang saksi dari wali murid dan Dinas Pendidikan.

"Saat ini kita masih dalam proses penyidikan dan kita sudah memanggil tiga orang saksi," kata Kapolres Sidoarjo AKBP Setija Junianta saat dikonfirmasi detiksurabaya.com, Kamis (29/10/2009).

"Kita belum menetapkan tersangka dan berharap agar Dinas Pendidikan Sidoarjo kooperatif saat kita akan melakukan penyelidikan terhadap tim penyusun soal. Kita tidak membentuk tim khusus tapi anggota sudah bergerak melakukan penyidikan," tandasnya.

Soal ujian Bahasa Indonesia yang bikin geger dunia pendidikan Sidoarjo adalah sebuah teks cerita berjudul "Pengusaha Bandel di Krangkeng Bareng Mak Erot." Dari segi pemilihan materi yang menggunakan judul "Mak Erot", jelas terasa ganjil. Apalagi dari struktur EYD, penulisan "di Krangkeng" jelas salah.

Senin, 26 Oktober 2009

Sebagian Besar Guru TK dan SD Tidak Layak Jadi Guru


Begitulah bunyi informasi yang kita baca diharian kompas pada hari ini, ironis memang tapi boleh jadi itulah kenyataannya. Saya yang punya anak SD jadi khawatir jangan-jangan anak saya di ajar oleh guru yang tidak layak itu. Sehingga yang terjadi adalah pembellian buku yang macam-macam tapi tidak pernah dipelajari. Pemberian tugas yang banyak tapi tak pernah dikoreksi, apa yang terjadi anak menjadi malas dan tidak ada motivasi belajar. Sudah begitu mata pelajaran yang banyak boleh jadi yang membuat anak-anak kita frustasi sekolah.

Kita terkadang terlalu menyalahkan satu pihak guru, jangan-janagan yang salah itu dari pembuat kebijakan. Pemerintah dibawah diknas seharusnya selalu mengevaluasi penyebaran guru yang berkualitas jangan sampai berkumpul disatu sekolah, sehingga sekolah itu saja yang maju. Sebaiknya guru-guru yang bermutu disebarkan sehingga mereka memberikan kontribusi kepada teman-temannya yang dianggap belum memenuhi standar.

PLPG lebih baik daripada portofolio


Solo (Espos). PLPG dinilai lebih baik daripada sistem penilaian portofolio. Hal itu menyusul rekomendasi Forum Komunikasi Dewan Pendidikan se-Soloraya tentang penghapusan portofolio sebagai parameter penilai sertifikasi guru.
Ketua Panitia Sertifikasi Guru Rayon 13 Universtas Sebelasa Maret (UNS), Prof Dr H M Furqon Hidayatullah MPd menilai Program Pendidikan Profesi Guru (PLPG) jauh lebih baik jika dibandingkan dengan penilai portofolio. Menurutnya, dalam program PLPG terdapat training-training atau pembinaan profesionalisme guru yang membedakannya dengan penilaian dalam portofolio.

Kendati demikian, Furqon tidak menolak anggapan bahwa potofolio itu sebuah sistem penilaian yang salah.

Jumat, 23 Oktober 2009

Ranking atau Motivasi Belajar?


“Good parents give their children Roots and Wings.” ~ Jonas Salk
Pukul 07.30 pagi tanggal 12 Agustus 2009, saya sungguh tidak menduga akan menerima telepon dari seorang tetangga lama. Beberapa tahun yang lalu, dia tinggal hanya beberapa langkah dari rumah sehingga hampir setiap hari kami bertemu dan saling menyapa. Lebih dari lima tahun yang lalu yaitu sejak keluarga kami pindah beberapa blok dari sana, kami jadi jarang bertemu. Bisa dibayangkan, betapa gembiranya hati ini saat tahu bahwa seorang teman lama ingin menanyakan suatu hal.

Dengan ramah dan sopan, dia bertanya apakah saya sedang sibuk atau tidak. Jika tidak apakah mau meluangkan waktu untuk dia. Tentu saja saya tidak mau membuat dia kecewa. Buku Dictionary of Common Errors karangan NB Turton dan JB Heaton yang sedang dalam genggaman langsung saya kesampingkan karena ingin memberikan perhatian yang penuh dan fokus.

Teman saya, anggap saja namanya Ani, adalah seorang ibu dari dua anak. Yang besar, laki-laki, duduk di kelas satu SMP. Sedangkan yang kecil, perempuan, duduk di kelas lima SD. Ani selalu ingin agar anak-anaknya menjadi juara kelas. Namun, selama ini mereka selalu mendapatkan ranking dua saja dan hanya pernah sekali meraih ranking satu. Menurut Ani, masalahnya ada pada guru yang selalu bersikap subjektif terhadap anaknya. Karena putranya baru masuk SMP tahun ajaran baru ini, maka target yang hendak dicapai adalah mendapatkan ranking satu agar bisa mendapatkan rasa hormat dan perhatian dari guru-guru di sekolah. Selama ini, anaknya hanya spesialis ranking dua saja sehingga guru-guru kurang menghargai.

Kamis, 15 Oktober 2009

“Maafkan Aku, Nak!”… Kisah Nyata (?)

Dik Doang, Seorang presenter dan artis penyanyi balada, dalam satu kesempatan (malam hari) di televisi swasta mengatakan, “Sebelum saya menyanyi, saya ingin mengucapkan selamat kepada para orang tua yang masih berada di kantor. Anak-anak menanti Anda di rumah”


Ya, kita seringkali terlena dengan pekerjaan kita hingga menghabiskan banyak waktu yang seharusnya untuk anak-anak kita. Untuk keluarga kita. Seolah-olah kita berkata kepada keluarga, “Apa yang kurang dari kalian, uang sudah cukup. Rumah sudah mewah. Apa yang kurang?”…
Yang kurang adalah kasih sayang. Yang dicari adalah kesempatan untuk bercengkerama dan bersenda gurau. Sesuatu yang kini menjadi barang langka di kota besar.

Senin, 12 Oktober 2009

Sebuah Cerita (untuk bekal mendidik anak)


Pada suatu ketika dikisahkan ada seorang tua renta yang tinggal dengan anak dan menantunya yang sudah berputra 6 tahun. Sang kakek sudah mengalami kesulitan saat berjalan ataupun menggerakkan tangannya karena stroke yang pernah diderita sebelumnya.

Seperti biasa saat makan malam seluruh keluarga berkumpul dimeja makan diruang tengah. seperti biasa pula karena ketidak seimbangan tangannya ada saja alat makan yang terjatuh, sup atau air tumpah dan membasahi taplak meja makan.

Melihat itu semua gusarlah pasangan suami istri tsb. “…kalau begini terus, hilang selera makanku.!!!” begitu keluh sang menantu. Akhirnya dengan kesepakatan bersama suami istri tsb membuat meja kecil lalu diletakkan disudut ruangan, tidak lupa pula mereka membeli peralatan makan dari plastik untuk sang kakek.

Bocah 2 Tahun Ber-IQ Einstein


INILAH.COM, Jakarta. Bocah dua tahun yang memiliki IQ sama seperti Albert Einstein dan Stephen Hawking, Oscar Wrigley menjadi anak termuda di Inggris Raya yang diterima di Mensa.

Penilai di Pusat Informasi Anak Berbakat di Solihull mengatakan, Oscar memiliki IQ setidaknya 160 dan merupakan salah satu anak tercerdas.

Dia telah menempati ranking 99,99 dari 100 penduduk, dan menempati ranking teratas dari skala Stanford-Binet yang tidak dapat mengukur lebih tinggi dari 160.

Minggu, 11 Oktober 2009

484 guru di Solo tak lulus sertifikasi


Solo (Espos). Sebanyak 484 dari 890 guru di Kota Solo tidak lulus sertifikasi kuota tahun 2009. Sebanyak dua guru di antaranya didiskualifikasi lantaran belum memenuhi persyaratan sertifikasi.

Hasil rekapitulasi penilaian portofolio guru dari Konsorsium Sertifikasi Guru (KSG) menyatakan jumlah guru di Kota Solo dari kalangan Depertemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang lulus sertifikasi mencapai 404 dengan persentase 45,39%. Sementara jumlah yang tidak lulus mencapai 484 guru dengan persentase 54,38%. Persentase ketidaklulusan guru di Kota Solo menduduki peringkat kedua setelah Kabupaten Sragen yang mencapai 55,14% dari 1.255 guru.

Kamis, 08 Oktober 2009

Mengasah "Calon Peraih Nobel" dari Papua


KOMPAS.com. Berikanlah soal Matematika yang sulit. Terserah soal apa saja. Merlin Enjelin Rosalina Kogoya (9) dan Demira Jikwa (8) pasti bisa menjawabnya dengan benar dan sangat cepat. Padahal, keduanya bukanlah siswa sekolah favorit di kota besar atau di Jakarta.

Kedua anak tersebut adalah siswa kelas III sekolah dasar di Kabupaten Tolikara, daerah pedalaman di Provinsi Papua.

Tidak mudah menemukan kabupaten tersebut dalam peta. Maklum, kabupaten pemekaran. Tidak gampang pula untuk menjangkau kabupaten di daerah pegunungan Papua itu. Hanya pesawat kecil berkapasitas beberapa orang yang bisa menjangkau kabupaten itu. Itu pun jika cuaca memungkinkan.

Namun, berbagai keterbatasan alam tersebut tidak menghalangi Merlin dan Demira untuk piawai dalam Matematika. Kepiawaian mereka dalam Matematika dibuktikan di sebuah ruang pertemuan di Jayapura, awal September lalu.

Ke Mana Arah Pendidikan Nasional?

Kamis, 8 Oktober 2009 | 11:45 WIB
Laporan wartawan KOMPAS.com Caroline Damanik
-------------------------------------------------------


DEPOK, KOMPAS.com. Belakangan ini pendidikan nasional seperti kehilangan visi. Bukan visi pendidikan nasional sebagai sarana membangun identitas bangsa dalam menerima perubahan global yang diperjuangkan, tetapi Indonesia cenderung hanyut dalam arus globalisasi. Lalu, ke mana arah pendidikan nasional saat ini?

Berdasarkan kondisi itu, pakar pendidikan Prof HAR Tilaar menyampaikan sejumlah koreksi terhadap visi pendidikan nasional yang berkembang saat ini.

Pertama, ciri pendidikan yang harusnya didasarkan pada kebudayaan nasional kerap diabaikan. Pengajaran bahasa dan pembentukan watak bukan lagi menjadi prioritas.

Selasa, 06 Oktober 2009

"Bacanya yang keras ya Pa...!"


Semuanya itu disadari John pada saat dia termenung seorang diri, menatap kosong keluar jendela rumahnya. Dengan susah payah ia mencoba untuk memikirkan mengenai pekerjaannya yang menumpuk. Semuanya sia-sia belaka.
Yang ada dalam pikirannya hanyalah perkataan anaknya Magy di suatu sore sekitar 3 minggu yang lalu. Malam itu, 3 minggu yang lalu John membawa pekerjaannya pulang. Ada rapat umum yang sangat penting besok pagi dengan para pemegang saham.

Pada saat John memeriksa pekerjaannya, Magy putrinya yang baru berusia 4 tahun datang menghampiri, sambil membawa buku ceritanya yang masih baru. Buku baru bersampul hijau dengan gambar peri. Dia berkata dengan �suara manjanya, "Papa lihat!" John menengok kearahnya dan berkata, "Wah, buku baru ya?" "Ya Papa!" katanya berseri-seri, "Bacain dong!" "Wah, Ayah sedang sibuk sekali, jangan sekarang deh", kata John dengan cepat sambil mengalihkan perhatiannya pada tumpukan kertas di depan hidungnya.