Kamis, 28 Mei 2009

Antisipasi konvoi hasil UN diambil wali murid


Solo (Espos). Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) membuat kebijakan pengambilan pengumuman ujian dilakukan orangtua siswa. Langkah itu ditempuh untuk mengantisipasi adanya konvoi dalam merayakan kelulusan siswa.

Kepala Disdikpora, Drs Amsori SH MPd mengatakan pihaknya akan menggelar pertemuan bersama semua kepala sekolah mulai dari SD, SMP, SMA, SMK, negeri swasta dan yang sederajat pada awal Juni mendatang. Dalam pertemuan itu, pihaknya akan memberikan surat edaran (SE) kepada setiap kepala sekolah tentang larangan menggelar konvoi di jalanan bagi siswa yang ingin merayakan kelulusan. ”Sama dengan pelaksanaan tahun lalu, pengambilan pengumuman ujian kali ini akan masih diambil orangtua sendiri ke sekolah,” tandasnya saat ditemui wartawan di sela-sela kesibukannya, Kamis (28/5).

Amsori menambahkan, pihaknya memberikan kesempatan bagi sekolah yang ingin kebijakan khusus dalam proses pengambilan pengumuman. Dalam hal ini, Amsori mempersilakan pihak sekolah yang ingin memberikan pengumuman ujian ke tempat tinggal siswa bagi yang diketahui tidak lulus. Selain itu, pihaknya juga mempersilakan bagi sekolah yang ingin meminta siswanya mengumpulkan seragam mereka untuk mengantisipasi adanya corat-coret seragam. ”Jika sekolah bisa menerapkan dua aturan itu justru lebih baik. Kami yakin semua itu dibuat demi kebaikan bersama.”

Ketua Panitia Ujian Nasional (UAN) dan Ujian Akhir Semester Berstandar Nasional (UASBN), Drs Maskuri mengatakan sesuai dengan jadwal pengumuman UAN SMA akan dilakukan pada Sabtu (13/6), untuk pengumuman UAN SMP pada Jumat (19/6), sedangkan untuk pengumuman UASBN bagi siswa SD akan dilakukan pada Sabtu (20/6). Menurutnya, jadwal itu masih bisa berubah lantaran pihaknya belum menerima SE dari Provinsi Jawa Tengah.


Sumber: www.solopos.co.id

Senin, 25 Mei 2009

Peran Komputer Bagi Pendidikan Anak


Pada awalnya komputer dititikberatkan pada proses pengolahan data, tetapi karena teknologi yang sangat pesat, saat ini teknologi komputer sudah menjadi sarana informasi dan pendidikan khususnya teknologi internet. Dalam hal pendidikan, komputer dapat dipergunakan sebagai alat bantu (media) dalam proses belajar mengajar baik untuk guru maupun siswa yang mempunyai fungsi sebagai Media tutorial, alat peraga dan juga alat uji dimana tiap fungsi tersebut masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan.

Sebagai media tutorial, komputer memiliki keunggulan dalam hal interaksi, menumbuhkan minat belajar mandiri serta dapat disesuaikan dengan kebutuhan siswa / anak. Tetapi interaksi komputer dengan manusia belum dapat menggantikan interaksi manusia dengan manusia, selain itu mempunyai kelemahan lain yaitu kemauan belajar mandiri yang masih rendah. Komputer sebagai alat uji memiliki keunggulan dalam keobyektifan, ketepatan dan kecepatan dalam penghitungan tetapi masih belum dapat menilai soal-soal essai, pendapat dan hal yang terkait dengan moral dan etika. Yang terakhir, sebagai media alat peraga, komputer mempunyai kelebihan dapat memperagakan percobaan tanpa adanya resiko, tetapi membutuhkan waktu dalam pengembangannya.

Sebelum memperkenalkan komputer kepada anak, orangtua maupun guru seharusnya dapat memahami perkembangan pemahaman anak, dimana pada usia 0 -2 tahun anak mendapatkan pemahamannya dari penginderaannya. Kemudian usia 2 – 7 tahun anak mulai belajar menggunakan bahasa, angka dan simbol-simbol tertentu. Pada usia 7 – 12 tahun anak mulai dapat berpikir logis, terutama yang berhubungan dengan obyek yang tampak langsung olehnya.

Yang saat ini perlu menjadi perhatian bagi orangtua maupun guru adalah bagaimana cara memperkenalkan komputer kepada anak. Hal yang perlu dicoba adalah dengan program-program aplikasi (software) yang bersifat “Edutainment” yaitu perpaduan antara education (pendidikan) dan entertainment (hiburan). Selain itu program (software) aplikasi “Edutainment” tersebut mempunyai kemampuan menumbuhkembangkan kreatifitas dan imajinasi anak serta melatih saraf motorik anak. Contohnya program permainan kombinasi benda, menyusun benda atau gambar (Puzzle) serta program berhitung dan software-software lain yang didukung perangkat multimedia.

Selain program aplikasi (software), dunia internet semakin berarti bagi anak-anak. Internet memungkinkan anak mengambil dan mengolah ilmu pengetahuan ataupun informasi dari situs-situs yang dikunjunginya tanpa adanya batasan jarak dan waktu. Di samping itu masih ada manfaat lain yang didapat dari internet, misalnya surat menyurat (E-mail), berbincang (chatting), mengambil dan menyimpan informasi (download).

Untuk perkembangan pendidikan selanjutnya teknologi “Teleconference” (Konferensi interaktif secara on line dari jarak jauh) dirasakan sudah pantas di coba dan dikembangkan, karena dapat menghemat waktu, tenaga pengajar, kapasitas ruang belajar serta tidak mengenal letak geografis.


Sumber : http://www.e-smartschool.com

Gita Gutawa Duta Pendidikan 'Sampoerna Foundation'


JAKARTA. Penyanyi remaja berbakat dan cantik, Gita Gutawa (16 tahun) didaulat menjadi Duta Pendidikan Sampoerna Foundation. Penyanyi terbaik dan peraih AMI Award 2008 ini baru saja meluncurkan album berjudul Harmoni Cinta. Gita menunjukkan komitmen kuat untuk memajukan pendidikan di Indonesia.

Pendatang terbaru di dunia tarik suara ini memperoleh giant cheque sebesar Rp 50 juta dari Sony Music Entertainment Indonesia yang diserahkan kepada Sampurna Foundation. “Semoga sinergi antara Gita Gutawa, Sony Music, dan Sampoerna Foundation dapat memberi kesempatan yang lebih luas bagi anak-anak Indonesia dalam mendapatkan haknya mengenyam pendidikan yang berkualitas. "Marilah kita terus bekerja sama dan berkomitmen bagi kemajuan kualitas pendidikan di Indonesia,'' ujar Vira Soekardiman, Sales Director Sampoerna Foundation, Senin (25/5).

Sebagai duta pendidikan, Gita Gutawa akan terlibat dalam program-program pendidikan Sampoerna Foundation. Komitmen awal Gita Gutawa melalui Sony Music memberikan donasi sebesar Rp 50 juta rupiah kepada Sampoerna Foundation untuk beasiswa. Selain itu, dalam album keduanya Harmoni Cinta didedikasikan untuk mendukung salah satu program penggalangan dana pendidikan Sampoerna Foundation, 'Save a Teen'. Program ini bertujuan memberikan akses pendidikan bagi siswa-siswi yang berprestasi namun memiliki keterbatasan ekonomi. Perolehan penjualan CD dan kaset dan ring back tone dari lagu-lagu album Harmoni Cinta akan didonasikan untuk program 'Save a Teen'.

Gita berkata, “Saya yakin pendidikan penting bagi kemajuan bangsa. Semoga lagu di album kedua seperti Masih Mimpi, Melangkah Lagi, dan Ayo, Come On, dapat menginspirasi teman-teman yang kurang beruntung untuk selalu semangat sekolah dan mengajak semua remaja di Indonesia membantu teman-teman yang kekurangan biaya sekolah."

Data Biro Pusat Statistik tahun 2006 menunjukkan, sebanyak 13 juta anak usia sekolah (7-18) tidak sekolah. Hanya 3,39 persen dari seluruh penduduk di Indonesia dapat menyelesaikan pendidikan tinggi.


By: Republika Newsroom; Selasa, 26 Mei 2009 pukul 10:03:00

BBK-SIP adakan program intensif


Grogol (Espos) Bimbingan Belajar dan Komputer Study Intensive Plus (BBK-SIP) Sukoharjo mengadakan program intensif spesial dalam rangka persiapan ujian semester bagi anak-anak kelas V SD dan VIII SMP. Program itu terbuka untuk umum tanpa dipungut biaya.

Kadiv Administrasi dan Pengajaran BBK-SIP, Yuni Marsih dalam siaran persnya untuk Espos, Minggu (24/5), menuturkan, paket bidang studi yang ditawarkan meliputi Matematika dan IPA/Sains untuk SD serta Matematika dan Bahasa Inggris untuk SMP. Dikatakan dia, masyarakat yang berminat mengikuti program itu bisa menghubungi nomor telepon 625220/085647479602 atau datang ke Kantor BBK-SIP di Grogol.


Dimuat di: SOLOPOS Edisi Senin, 25 Mei 2009 , Hal.VII
Sumber: http://www.solopos.co.id/zindex_menu.asp?kodehalaman=h33&id=272851

Minggu, 24 Mei 2009

Yang Terlewatkan dalam Pendidikan


Ada kesan kuat, baik guru, orangtua, maupun murid, selalu didorong untuk mengejar dan menghimpun informasi keilmuan sebanyak mungkin, namun melupakan aspek pendidikan yang fundamental, yaitu bagaimana menjalani hidup dengan terhormat. Salah satu penyebab merebaknya korupsi ialah gagalnya dunia pendidikan dalam pembentukan karakter agar hidup selalu dipandu nurani.

Pagi-pagi, seorang ibu dan anaknya dengan wajah tegang menuju rumah seorang aparat pemerintah. Pertemuan itu tak lebih dari 10 menit. Ibu dan anak pamit, dan pulang dengan wajah ceria. Keceriaan disampaikan kepada ayahnya melalui telepon. Apa yang terjadi?Rupanya ibu dan anak itu berhasil memperoleh bocoran soal ujian setelah membayar sejumlah uang. Apa yang signifikan dari peristiwa ini? Jika peristiwa itu direnungkan, suatu hal amat jelas.

Orangtua telah menanamkan virus kehidupan kepada anak bahwa sukses bisa dibeli dengan uang, dengan menyogok, dan semua itu seolah sah-sah saja. Peristiwa itu juga menggoreskan catatan seumur hidup di hati anak. Pagi itu, orangtua telah merobohkan prinsip kejujuran. Akibatnya, jika suatu saat orang atau guru mengajarkan nilai-nilai kejujuran, anak akan menilai semua itu bisa ditawar.

Singkatnya, secara moral orangtua tidak lagi punya wibawa untuk mengajarkan kejujuran di mata anaknya.Belum lama ini saya dibuat tercenung membaca Pojok Kompas (15/1). Tertulis: "Kelulusan 322 calon PNS di Departemen Agama dibatalkan sebab yang bersangkutan tak ikut tes". Di lingkungan Depag, juga di departemen lain, kecurangan seperti ini bukan hal baru. Namun saat korupsi terjadi di Depag, implikasi moral politiknya lebih besar karena bisa mengarah pada logika bahwa Depag yang mestinya berperan sebagai "sapu yang bersih" telah terseret dan menyatu bersama sampah yang hendak dibersihkan.Pendidikan berbasis karakterPendidikan adalah usaha sistematis dengan penuh kasih untuk membangun peradaban bangsa.

Di balik sukses ekonomi dan teknologi yang ditunjukkan negara-negara maju, semua itu semula disemangati nilai-nilai kemanusiaan agar kehidupan bisa dijalani lebih mudah, lebih produktif, dan lebih bermakna. Namun banyak masyarakat yang lalu gagal menjaga komitmen kemanusiaannya setelah sukses di bidang materi, yang oleh John Naisbit diistilahkan High-Tech, Low-Touch. Yaitu gaya hidup yang selalu mengejar sukses materi, tetapi tidak disertai dengan pemaknaan hidup yang dalam.

Akibatnya, orang lalu menitipkan harga dirinya pada jabatan dan materi yang menempel, tetapi kepribadiannya keropos.Seseorang merasa diri hebat dan berharga bukan karena kualitas pribadinya, tetapi jabatan dan kekayaan, meski diraih dengan cara tidak terhormat. Pribadi semacam ini oleh Erich Fromm disebut having oriented, bukan being oriented, pribadi yang obsesif untuk selalu mengejar harta dan status, tetapi tidak peduli pada pengembangan kualitas moral.

Ketika pendidikan tidak lagi menempatkan prinsip-prinsip moralitas agung sebagai basisnya, maka yang akan dihasilkan adalah orang yang selalu mengejar materi untuk memenuhi tuntutan physical happiness yang durasinya hanya sesaat dan potensial membunuh nalar sehat dan nurani. Padahal, aktualisasi nilai kemanusiaan membutuhkan perjuangan hidup sehingga seseorang akan merasa lebih berharga dan bahagia saat mampu meraih kebahagiaan nonmateri, yaitu intellectual happiness, aesthetical happiness, moral happiness ,dan spiritual happiness.

Pendidikan yang sehat adalah yang secara sadar membantu anak didik bisa merasakan, menghayati, dan menghargai jenjang makna hidup dari yang bersifat fisikal sampai yang moral, estetikal, dan spiritual. Peradaban dunia selalu dibangun oleh tokoh-tokoh moral-spiritual, yang dihancurkan politisi dan teknokrat yang mabuk kekuasaan.Selama ini produk pendidikan amat kurang membantu pertumbuhan spiritualitas anak sehingga mereka sulit mengagumi keramahan langit terhadap bumi, gemercik air, festival awan, kekompakan hidup dunia semut, dan perilaku alam lain yang semua itu merupakan ayat-ayat Tuhan dan bacaan terbuka yang amat indah.


Ini semua disebabkan kesalahan proses pendidikan yang kita dapat, yang hampir melupakan dimensi akal budi dan emosi serta tidak memandang alam sebagai entitas yang hidup.Sebenarnya tak ada benda mati di hadapan orang yang akal budinya hidup. Terlebih di hadapan Tuhan, semuanya hidup dan bekerja atas perintah-Nya karena tercipta bukan tanpa tujuan.

Pendidikan kita kurang mengajarkan bagaimana bersahabat dan berdialog dengan kehidupan secara menyeluruh.Sebuah kasus menarik saat bencana tsunami di Aceh, hampir tidak ditemukan bangkai sapi atau kerbau dan hewan lain karena semuanya telah menyelamatkan diri. Hewan-hewan itu memiliki kepekaan dan mampu berdialog dengan sesama penghuni bumi saat bahaya akan datang.

Kalaupun ada yang mati, itu lebih dikarenakan hewan-hewan itu kurang makan atau terjebak di kandang.Belajar dan mengajar dengan hatiSeiring munculnya kesadaran dan tuntutan moral dalam dunia bisnis, dalam dunia pendidikan juga muncul gerakan baru untuk melibatkan emosi dan nurani dalam proses pembelajaran.

Dipopulerkan oleh Danah Zohar, Ian Marshall, dan Daniel Golleman, literatur seputar betapa vitalnya dimensi spiritual dan emosional dalam kerja dan belajar kian diapresiasi kalangan eksekutif muda dan praktisi pendidikan. Misalnya, Training ESQ- Leadership yang dimotori Ary Ginanjar mendapat sambutan masyarakat.Pelatihan ini menghasilkan lebih dari 50.000 alumni, tersebar di seluruh perusahaan di Indonesia, dan tiap bulan bertambah sedikitnya 7.000. Bahkan training ini telah masuk kurikulum SESKOAD Bandung.

Fenomena ini tentu amat menggembirakan, sebuah kebangkitan kesadaran etis dan spiritual dalam upaya membangun bangsa yang bermartabat serta mendorong lahirnya generasi baru yang setia dengan nilai-nilai luhur kemanusiaan dan ketuhanan.Ada beberapa buku yang sebaiknya dibaca para guru, misalnya karya-karya Eric Jensen, Thomas Armstrong, dan Dave Meier soal bagaimana menciptakan proses dan suasana pembelajaran dengan mengacu pada sifat otak dan emosi (brain based learning) sehingga suasana belajar menjadi nyaman, kreatif, dan kontemplatif.

Pembelajaran yang menjadikan siswa sebagai subyek, di mana anak-anak itu memiliki nurani dan potensi multikecerdasan, namun belum tergali dan teraktualisasi. Dengan demikian, proses pembelajaran sebaiknya dimulai dengan melihat, mengamati, dan merasakan lingkungan sosial yang dihadapi, guru dan murid berempati menjadi bagian integral dari realitas sosial dan semesta. Dari situ keilmuan dibangun untuk membantu memecahkan problem kemanusiaan.

Semua ilmu pengetahuan awalnya adalah produk kegelisahan akal budi dan nurani guna meringankan beban hidup manusia. Celakanya, banyak kaum profesional dan birokrat yang dengan ilmu dan jabatannya malah menjadi penindas rakyat. Rakyat amat merindukan pemimpin, birokrat, dan pelaku pasar yang senantiasa mempertahankan prinsip hidup terhormat, hidup yang dipimpin suara hati, meski bisa jadi harus siap hidup sederhana. Itu semua harus dimulai dari pendidikan keluarga dan sekolah yang menjunjung tinggi pendidikan karakter.Komaruddin Hidayat Pembina Sekolah Berwawasan Internasional (SBI). Madania.


Oleh: Komaruddin Hidayat
Sumber: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0502/03/opini/1538957.htm

BERKARAKTERKAH KITA (SEBAGAI GURU)?


Beberapa tahun terakhir ini, pendidikan kita diingatkan kembali akan pentingnya menanamkan karakter dalam semua proses pembelajaran. Pendidikan karakter telah menjadi gaung yang menggetarkan pendidikan kita. Betapa tidak? Karena selama ini, kita lebih banyak dininabobokan dan hanya berkonsentrasi pada ‘meraih angka’ semata, sebagaimana dikatakan Ratna Megawangi “…Hal ini terlihat dari bobot mata pelajaran yang diarahkan kepada pengembangan dimensi akademik siswa saja, yang sering diukur dengan kemampuan logika-matematika dan abstraksi (kemampuan bahasa, menghafal, abstraksi – atau ukuran IQ).” Sehingga generasi yang dihasilkan adalah generasi yang kurang peka terhadap permasalahan-permasalahan sosial di sekitarnya. Generasi ‘karbitan’ itulah istilah ekstrem yang bisa diberikan.
Apabila dirunut ke belakang, sebenarnya Indonesia telah lama melaksanakan pendidikan yang berbasis karakter. Mungkin kita pernah ingat adanya pendidikan budi pekerti, pendidikan moral Pancasila, pendidikan agama, tetapi mengapa tidak membawa perubahan dan kebermaknaan? Mengapa hanya lip service belaka?

Beberapa hal yang menyebabkan tidak berhasilnya pendidikan karakter kita, selain karena masalah politisasi materi pendidikan itu sendiri – yang memang pada saat itu lebih cenderung pada penanaman dogma-dogma penguasa, sebagai upaya untuk melanggengkan kekuasaan - juga karena tidak adanya contoh yang bisa dijadikan sebagai idola dan panutan dalam berkarakter yang baik.

Betapa Nabi Muhammad sangat diagungkan oleh umat Islam dalam semua segi kehidupannya, karena beliau memiliki karakter yang bisa diandalkan dan dicontoh, begitu pula halnya dengan Sidharta Gautama yang sangat disanjung dan diikuti ajarannya oleh umat Budha. Nabi Muhammad dan Sidharta Gautama adalah contoh-contoh idola dan guru yang berkarakter mulia.

Guru sebagai ujung tombak pendidikan, memiliki peran yang sangat sentral dalam mewujudkan siswa yang berkarakter. Guru selain dituntut untuk menyampaikan materi, juga dituntut untuk menjadi ‘GURU – digugu dan ditiru’ yang sebenarnya. Guru harus bisa menanamkan moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan lain sebagainya. Memberi penghargaan (prizing) kepada yang berprestasi, dan hukuman kepada yang melanggar, menumbuhsuburkan (cherising) nilai-nilai yang baik dan sebaliknya mengecam dan mencegah (discowaging) berlakunya nilai-nilai yang buruk. Selanjutnya menerapkan pendidikan berdasarkan karakter (character base education) dengan menerapkan ke dalam setiap pelajaran dan juga dalam kehidupan nyata. Lalu apa realitas yang terjadi?

Mungkin masih ada dalam ingatan kita, disaat narkoba menyerbu banyak murid sekolah. Semua sekolah - pada saat itu dan juga sampai saat ini - memasang kuda-kuda untuk mencegah masuknya ‘racun tersebut’ dengan slogan-slogan yang tertempel jelas di gerbang sekolah “Sekolah bebas asap rokok”, “dilarang merokok”, “Daerah bebas rokok”, “No Smoking” dan juga slogan-slogan lain yang yang tak kalah hebatnya. Tetapi sadarkah kita, bahwa masih banyak guru yang senang berteman dan ber’tuhan’kan pada rokok ini, baik dengan cara bersembunyi atau terang-terangan.

Suatu hari ada seorang guru di Bandung yang memprotes pengawas TK/SD dan juga guru-guru lain yang merokok pada saat rapat dinas tentang pendidikan lingkungan hidup. Guru tersebut mempertanyakan, bagaimana pendidikan lingkungan hidup bisa berhasil, sedangkan para guru dan pengawasnya menjadi penyumbang kerusakan lingkungan hidup, dengan asap rokoknya?

Bagaimana kita bisa melarang murid untuk tidak merokok dan membebaskan sekolah dari asap rokok, sedangkan guru-gurunya juga merokok. Tidak adil memang. Tapi itulah resiko yang harus diambil apabila kita ingin menjadikan pendidikan kita berkarakter. Mulailah dari diri sendiri untuk menjadi ‘diri yang berkarakter’

Banyak guru yang menjadi marah kalau muridnya terlambat datang ke sekolah, sedangkan apabila gurunya telat datang, betapa banyak alasan yang disampaikan pada muridnya., dan mungkin juga masih banyak kelemahan-kelemahan kita sebagai guru, yang tidak mendukung tercapainya pendidikan berkarakter seperti membuang sampah sembarangan, mengajar asal-asalan, mengejek murid, berlaku kasar terhadap murid, dsb. Masih bisa jujurkah kita dengan perbuatan-perbuatan seperti itu? Ingat, kita adalah GURU yang harus DIGUGU dan DITIRU. Kalau kita tidak bisa jadi ‘GURU’, maka sebagaimana dikatakan Anis Mata dalam bukunya ‘Membentuk Karakter Cara Islam’ “…bahwa penyebab terjadinya krisis moral adalah 1) Adanya penyimpangan pemikiran dalam sejarah pemikiran manusia yang menyebabkan paradoks antarnilai, misalnya etika dan estetika, 2) Hilangnya model kepribadian yang integral, yang memadukan kesalihan dengan kesuksesan, kebaikan dengan kekuatan, dan seterusnya, 3) Munculnya antagonisme dalam pendidikan moral


Pendidikan karakter pada dasarnya dibentuk oleh beberapa pilar yang saling mengkait. Adapun pilar-pilar karakter ini adalah nilai-nilai luhur universal yang terdiri dari:

1. Cinta Tuhan dan alam semesta beserta isinya
2. Tanggung jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian
3. Kejujuran
4. Hormat dan Santun
5. Kasih Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama
6. Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras, dan Pantang Menyerah
7. Keadilan dan Kepemimpinan
8. Baik dan Rendah Hati
9. Toleransi, Cinta Damai, dan Persatuan

Pendidikan karakter adalah pendidikan yang ditujukan untuk mengukir akhlak melalui proses knowing the good, loving the good, and acting the good, yaitu proses pendidikan yang melibatkan aspek kognitif, emosi, dan fisik, sehingga akhlak mulia bisa terukir menjadi habit of the mind, heart, and hands. Ayo kita bangun diri kita sebelum membangun orang lain,

Hadist riwayat Imam Ahmad: Rasulullah berkata, “Inginkah kalian kuberitahu tentang siapa dari kalian yang paling kucintai dan akan duduk di majelis terdekat denganku di hari kiamat?” Kemudian Rasul mengulanginya sampai tiga kali, dan sahabat menjawab “Iya, ya rasulullah !” Lalu rasul bersabda, “Orang yang paling baik akhlaknya.”


Oleh: Iwan Gunawan, (Guru SD Salman Al Farisi Bandung)
Sumber: keyanaku.blogspot.com

Perbaiki Sistem Pendidikan Nasional


Pemerintah harus secepatnya mengubah sistem pendidikan nasional ke sistem yang lebih mengutamakan kompetensi dan keahlian peserta didik. Sistem yang berjalan sekarang dinilai berkontribusi besar terhadap tingginya tingkat pengangguran terbuka, yang separuhnya minimal lulusan sekolah menengah atas.

Sistem pendidikan selama ini cenderung berorientasi menghasilkan lulusan yang memiliki nilai akademis sesuai norma yang ditetapkan. Bakat dan minat peserta didik terhadap sesuatu hal kurang mendapat perhatian.

Wakil Ketua Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP) Sumarna F Abdurrahman di Jakarta, Jumat (22/8), mengatakan, sistem pendidikan berbasis kompetensi yang sudah mulai berjalan saat ini belum optimal. Pemerintah masih lebih mengedepankan prestasi akademis dari sisi lembaga pendidikan, belum dari sisi penyerapan pasar kerja.

”Modul pendidikan yang dipakai saat ini masih banyak yang belum sesuai dengan kebutuhan pasar kerja. Seharusnya, standar kompetensi pendidikan dibangun berdasarkan kebutuhan pasar kerja,” kata Sumarna.

Sebanyak 5.660.036 orang termasuk dalam kelompok pengangguran terbuka berusia 15-24 tahun. Walau secara umum tingkat pengangguran terbuka nasional turun, tingkat pengangguran terdidik terus meningkat.

Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Djimanto mengungkapkan, saat menguji 100 lulusan SMA mengikuti pelatihan perbengkelan, hanya 10 anak yang layak dilatih. Selebihnya tidak lolos. ”Seharusnya program pendidikan formal difokuskan pada jalur kejuruan, mulai sekolah menengah kejuruan sampai tingkat diploma kejuruan,” ujarnya.

Presiden Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Rekson Silaban mengatakan, semua pihak harus mewaspadai peningkatan jumlah penganggur terdidik. Sebagai orang yang memiliki kemampuan intelektual tinggi, tingginya penganggur terdidik bisa memicu persoalan sosial yang sangat besar.

Tekan Angka Pengangguran


Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Depdiknas Fasli Jalal mengungkapkan, untuk menekan angka pengangguran, Depdiknas mengembangkan dan merevitalisasi pendidikan politeknik. Kemampuan lulusan berwirausaha juga semakin diperhatikan semenjak belajar di politeknik.

Menurut Fasli, pihaknya tengah bekerja sama dengan 14 kabupaten/kota dan satu provinsi untuk mengembangkan politeknik, di mana pemerintah daerah itu sudah mengembangkan analisis kebutuhan dan pihak industri sepakat bahwa dibutuhkan lulusan di bidang-bidang tertentu. Sudah ada gambaran mengenai daya serap lulusan politeknik tersebut.


Sumber: (ham/ine) Kompas.Com, Jakarta

Selasa, 19 Mei 2009

BELAJAR MULTIBAHASA SEJAK DINI


Otak anak-anak sampai usia 8-10 tahun merupakan fase yang paling peka untuk digunakan belajar bahasa. Sesudah itu perkembangan sentrum bahasa pada otak kiri akan berkurang. Hal ini menepis pendapat banyak kalangan bahwa anak yang diajarkan bertutur multibahasa bisa membuat kebingungan dan menyebabkan keterlambatan perkembangan bahasa anak.

Bahkan ada pendapat yang mengatakan bahwa kegaguan pada anak bisa disebabkan oleh tantangan multi bahasa. Hal itu sama sekali tidak benar.

Penelitian menunjukkan bahwa jika diajarkan secara benar, belajar multibahasa pada usia dini memacu perkembangan anak secara keseluruhan. Penelitian lain menunjukkan bahwa anak yang belajar multibahasa sejak usia dini biasanya lebih sukses dalam kehidupannya karena sudak terbiasa berhubungan dengan bermacam-macam bahasa. Hal ini disebabkan karena bahasa menjadi media komunikasi saat anak menjadi dewasa dan memasuki dunia kerja.

Sejak 1951 UNESCO telah merekomendasikan penggunaan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar pendidikan. Selain menambah rasa aman bagi balita, bahasa ibu juga memeihara identitas etnis dan juga meningkatkan kepekaan linguistik. Di seluruh dunia, komunitas yang memakai satu bahasa hanya sekitar 13 persen. Selebihnya, paling tidak menggunakan dua bahasa.

Indonesia tidak termasukdalam kategori 13 persen tersebut. Anak-anak di Indonesia pada umumnya menguasai dua bahasa, yaitu bahasan daerah dan bahasa Indonesia. Hal ini merupakan suatu kelebihan dan menjadi dasar untuk mempalajari bahasa asing dengan lebih mudah. Namun yang harus diingat adalah konsep dan cara belajarnya harus dilakukan dengan benar.

Jangan Dicampur


Bagaimana cara mengajarkan multi bahasa yang baik bagi anak usia dini? Kita perlu menggunakan bahasa yang kita kuasai untuk berbicara dengan anak. Jangan memakai bahasa yang bercampur-campur saat berbicara dengan anak. Misalnya ibu memakai bahasa Indonesia, ayah bahasa Inggris, nenek bahasa daerah, tidak masalah, asal tidak dicampur-campur sehingga anak menjadi bingung. Dalam mempelajari bahasa, anak-anak memahaminya dalam konteks secara keseluruhan dan kadang-kadang tanpa mengerti kosa kata yang digunakan secara detail. Secara intuitif anak belajar mengerti bahasa yang mereka dengar dengan benar sesuai perkembangannya. Prosesnya sama dengan mereka belajar bahasa ibu, yaitu tanpa mengajarkan tata bahasa, kosa kata, dan sebagainya. Dalam mengajarkan bahasa kepada anak, tidak boleh menggunakan dua bahasa dalam satu kalimat. Hal itu dapat membingungkan anak.

Metode Immersion

Metode ini banyak diadopsi dalam proses pengajaran multibahasa. Metode ini tidak mementingkan tata bahasa, tapi cara pengertiannya. Bahasa selalu disampaikan dalam konteks. Klimat yang diajarkan dihubungkan dengan perbuatan. Apa yang dituturkan oleh guru dihubungkan dengan gerakan, mimik, maupun bahasa badan yang menunjang tanpa penekanan dalam tata bahasa maupun kosa kata. Cara pengajarannya menggunakan contoh, misalnya dibuatkan bentuk pesawat dari kertas untuk mengenalkan pesawat dalam bahasa yang diajarkan. Hal ini merupakan inti dari metode immerson.Dengan metode ini, anak berlatih bahasa asing tanpa harus menerjemahkanapa yang mereka dengar dan ucapkan.

Hal yang tidak kalah pentingnya dalam pengajaran bahasa ini adalah dukungan orang tua. Ada banyak cara yang bisa dilakukan, misalnya mengenalkan musik, tarian, atau makanan dari negeri asal bahasa yang dipelajarinya, juga menyediakan buku-buku, video, atau bahan lain dalam bahasa asing. Bahkan jika memungkinkan, orang tua bisa mendorong anak untuk menjalin sahabat pena dengan anak-anak dari negeri asal bahasa yang dipelajarinya.


Sumber : REPUBLIKA

Keajaiban Otak Anak Kita


Sejak tahun 80-an dunia pendidikan dan pengasuhan anak telah mengalami revolusi yang sungguh menakjubkan. Hal ini terutama disebabkan karena manusia telah berhasil mempelajari sebagaian besar fungsi-fungsi dan cara kerja otak manusia secara menyeluruh.

Bahkan professor Green Field dari BBC bekerjasama dengan Dr. Henry Marsh dari Atkinson Morley Hospital London, telah berhasil melaksanakan dan meliput sebuah operasi pembedahan otak dimana batok kepala si pasien di buka dan otaknya dapat dilihat dan dipelajari dalam keadaan hidup. Pada saat pembedaan tersebut si pasien sendiri dalam keadaan sadar dan dapat diajak berbicara. Sebuah cara penelitian yang Luar Biasa…!

Selain itu masih banyak lagi peneliti lain yang juga melakukan riset mendalam mengenai fungsi-fungsi kerja otak manusia. Salah satu yang paling terkenal adalah Prof. Marian Diamond, dari University of California, Berkeley. Diamond diberi kepercayaan untuk membedah otak Einstein.


Ternyata beberapa fakta dan temuan ilmiah dari penelitian otak tersebut telah berhasil mengubah pandangan-pandangan mengenai mitos yang berkembang seputar otak dan kecerdasan manusia.

Dahulu sebagian besar orang percaya bahwa cerdas itu bersumber dari faktor keturunan; sementara fakta membuktikan bahwa perkembangan kecerdasan lebih disebabkan oleh perkembangan sel-sel syaraf otak yang dipicu oleh lingkungan yang kaya akan rangsangan pembelajaran dan makanan yang banyak mengandung omega 3.

Dahulu orang percaya bahwa Cerdas adalah anugerah Tuhan hanya pada anak-anak tertentu, sementara fakta membuktikan bahwa setiap anak terlahir memiliki jumlah sel otak yang lebih kurang sama. Sementara lingkunganlah yang menentukan perkembangan otak anak selanjutnya.

Gardner juga menemukan bukti bahwa masing-masing orang memiliki struktur simpul yang berbeda-beda pada otaknya, dimana masing-masing simpul ini berhubungan dengan kemampuan-kemampuan yang bersifat khusus; yang oleh kebanyakan orang disebut sebagai potensi bakat/talenta. Oleh karenanya setiap orang pada dasarnya memiliki keunggulan unik sesuai dengan struktur simpul pada otaknya masing-masing.


Dahulu Jenius dipahami hanya milik orang-orang tertentu; ada juga yang beranggapan sebagai bentuk kelainan yang positif. Sementara fakta menunjukkan bahwa sesungguhnya setiap anak sudah dilengkapi dengan Softwere untuk dapat menjadikannya sebagai Jenius. Softwere tersebut sering diistilahkan sebagai The Highly Order Thinking atau Cara Berpikir Tingkat Tinggi. Siapapun orangnya yang berhasil mengoptimalkan kerja softwere ini sejak usia dini hingga dewasa maka dapat dipastikan ia akan bisa menjadi orang yang Jenius atau paling tidak akan menjadi orang yang sangat kreatif.

Demikian pula dengan proses mendidik dan mengasuh anak; Para peneliti telah menemukan bahwa otak manusia terdiri atas tiga susunan yakni otak Reptil, Otak Mamalia dan Otak Neo Kortex. Otak Reptil berfungsi untuk mengatur sistem otomasi tubuh dan pertahanan; seperti mengatur suhu tubuh, detak jantung juga pertahanan yakni melawan atau menghindar. Otak Mamalia berfungsi mengatur pergerakan Emosi, apakah itu mengarah kepada emosi Positif atau ke arah Negatif. Sementara otak Neo Kortex berfungsi untuk proses berpikir Kreatif dan Logika.

Temuan yang fenomenal adalah Bahwa Reaksi manusia ditentukan oleh otak mana yang bekerja atara Otak Reptil atau Otak Berpikir, Kedua Otak ini hanya bisa bekerja secara bergantian, tergantung reaksi emosi mana yang diterimanya; Apa bila reaksi emosi yang diterimanya bersifat negatif, maka secara otomatis akan mengaktifkan otak reptil dan apa bila reaksinya cenderung positif maka otak berpikirnyalah yang aktif.

Yang perlu diingat adalah Apa bila dari peristiwa yang dialami telah menimbulkan emosi yang negatif hal ini akan memicu aktifnya otak reptil, jika yang aktif adalah otak reptil maka reaksi seseorang juga akan mirip seperti binatang reptil. Jadi apa bila selama ini reaksi anak anda ada yang kira-kira mirip seperti reptil seperti memukul, membentak, membanting dsb, jangan-jangan selama ini anda telah sering menekan emosinya hingga otak reptilnya sangat aktif.

Sementara para ahli juga menemukan bahwa manusia, baru dapat berpikir dan belajar pada saat Berpikirnya aktif. Jadi apa bila kita ingin seseorang dapat berpikir dan belajar kita harus berusaha mengaktifkan Otak Berpikirnya dengan cara menimbulkan emosi-emosi positif.


Berangkat dari temuan inilah para ahli mencoba menyusun ulang pola pendidikan dan pola asuh orang tua pada anak-anaknya, agar dari setiap proses interaksi menghasilkan reaksi emosi positif yang membangkitkan otak berpikirnya bukan malah otak reptilnya seperti yang kebanyakan terjadi saat ini.

Demikian juga dalam proses belajar mengajar; para ahli semakin yakin bahwa metode pembelajaran itu harus meliputi pemahaman lahir dan bathin; menyenangkan dan penuh tantangan.

Revolusi dibidang ilmu pendidikan dan pengajaran menemukan bahwa cara-cara belajar yang menimbulkan tekanan fisik dan psikologis pada siswa seperti Strap, PR/Tugas-tugas yang berlebihan dan sebagainya tidaklah cocok digunakan untuk sistem pembelajaran manusia.

Demikianlah ilmu pengetahuan telah berkembang begitu cepatnya dari bulan-kebulan dan dari tahun-ketahun. Sudah saatnya kita para orang tua dan pendidik untuk terus memperkaya diri dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan agar bisa menjadi yang terdepan dan terbaik dalam mendidik dan membesarkan anak-anak kita……


Sumber: Ayahedy
http://roni336.com/?p=18

Minggu, 17 Mei 2009

Reorientasi Tujuan Pendidikan


Setiap awal bulan Mei, bangsa kita memperi­ngati peristiwa penting dan bersejarah yaitu Hari Pendidikan Nasional. Pendidikan memiliki arti penting bagi kehi­dupan bangsa karena seluruh sektor kehidupan tak bisa lepas dari faktor sumber daya manusia yang merupakan output dunia pendi­dikan. Pendidikan juga merupa­kan bagian dari sejarah berdirinya negara Indonesia. Tujuan didirikannya Negara Kesatuan Repu­blik Indonesia diantaranya yaitu untuk “mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Namun setelah sekian lama bangsa ini berdiri, begitu banyak permasalahan yang mendera ne­geri tercinta ini. Negeri yang memiliki sumber daya alam yang sa­ngat kaya, tetapi masih tergolong negara miskin. Hampir seluruh penduduk memeluk agama, tapi tergolong negara terkorupsi.

Dilihat dari kualitas sumber daya manusia masih memprihatinkan. Menurut data Human Development Index (HDI) tahun 2008, sumber daya manusia Indonesia menempati peringkat ke 107 dari 157 negara. Mengapa kondisi SDM kita cenderung rendah? Hal ini tentu berkaitan dengan kondisi dunia pendidikan.

Telah banyak diperbincangkan bahwa orientasi pendidikan saat ini cenderung hanya bersifat akademis. Akibatnya seperti sering terjadi, mencuatnya kasus kecurangan dalam pelaksanaan Ujian Nasional, bahkan ada yang diprakarsai oleh guru dan sekolah. Belum lagi kasus tawuran antar siswa, meningkatnya jumlah pemakai narkoba, kasus aborsi, dan tindak kriminal di kalangan pelajar lainnya. Selama puluhan tahun tanpa disadari, ternyata bangsa ini hanya berorientasi pada intelek­tualisme seperti yang terjadi di sebagian besar sekolah yaitu mengutamakan nilai akademis. Hal itu menunjukkan bahwa pendidikan saat ini hanya mentransfer ilmu pengetahuan (transfer of knowledge), sehingga kerap mengabaikan nilai-nilai moralitas. Persoalan tersebut menghasilkan output pribadi siswa yang rapuh. Banyak kasus dimana siswa yang tidak lulus ujian mengalami stres sehingga meningkatkan tindakan kekerasan bahkan kerap berujung pada tragedi bunuh diri.

Hal ini tentu perlu diperta­nyakan, sudah sejak jaman dulu rumusan pendidikan selalu untuk membentuk manusia yang utuh dan lengkap meliputi berbagai aspek. Socrates, misalnya, mene­gaskan bahwa pendidikan merupakan proses pengembangan manusia ke arah kearifan (wisdom), pengetahuan (knowledge), dan etika (conduct).

Jika menengok Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, secara eksplisit mengamanatkan agar menerapkan satu sistem pendidikan yang meningkatkan keimanan dan ketaqwaan serta akhlak mulia. Secara lebih rinci UU No 20/ 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menetapkan agar peserta didik dapat mengembangkan potensi dirinya secara aktif untuk memiliki kekuatan spiritual, keamanan, pengendalian diri, kepribadian, akhlak mulia, kecerdasan, dan keterampilan.

Di dalam GBHN pun tertera bahwa tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang utuh. Yang dimaksud dengan utuh tentunya meliputi berbagai aspek tidak hanya intelektual tapi juga emosional dan spiritual. Namun kenyataannya seperti yang sudah disinggung di atas, pendidikan pada masa ini umumnya hanya menjadikan peserta didik pandai dari segi nalar. Karena itulah ba­nyak lulusan sekolah yang rapuh dan hampa jiwanya sehingga tidak mampu menghadapi problematika kehidupan.

Manusia membutuhkan tiga kecerdasan untuk mengelola kehidupannya. Fungsi IQ adalah “What I think” (apa yang saya pikirkan) untuk mengelola keka­yaan fisik atau materi (Physical Capital); fungsi EQ adalah “What I feel” (apa yang saya rasakan) untuk mengelola Kekayaan So­sial (Social Capital); dan fungsi SQ adalah “Who am I” (siapa saya) untuk mengelola Kekayaan Spiritual (Spiritual Capital).

Namun selama ini ketiga kecerdasan tersebut berjalan terpisah. Contoh banyak orang yang memiliki IQ tinggi namun kering nilai-nilai spiritual; atau sebaliknya, memiliki spiritual (SQ) tinggi, namun rendah dalam nilai-nilai intelek­tual sehingga akhir­nya kalah dalam percaturan ekonomi, sosial dan iptek. Pencapaian kualitas manusia ideal yang proporsional adalah manusia unggul yang cerdas secara intelektual, emosi, serta spiritual.

Karena itulah selama tujuh tahun terakhir, melalui metode The ESQ­Way165, ESQ berusaha menggabungkan tiga potensi dasar dalam satu kesatuan untuk menciptakan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang tidak saja memiliki intelektualitas tetapi juga memiliki kecerdasan emosi yang dituntun oleh kecerdasan spiritual.

Beberapa sekolah maupun perguruan tinggi yang te­lah menyertakan siswanya da­lam training ESQ, menyatakan bahwa siswanya mengalami pe­ningkatan dalam penguasaan aka­demis. Pengasahan kecerdasan emo­si dan spiritual ternyata mampu memberikan motivasi yang kuat dalam meningkatkan sema­ngat belajar. Dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional kali ini, orientasi pendidikan tidak hanya mengutamakan aspek intelelek­tualitas namun juga dimensi emosi dan spiritual.


Sumber: esqmagazine.com

Kamis, 14 Mei 2009

Tidak Menyerah Pada Keterbatasan

Jessica Cox bisa mengemudi mobil, berenang, dan mengetik 25 kata per menit. Ia juga pemegang dua ban hitam Tae Kwon-Do (dari dua federasi) dan pintar menari. Ia bisa sekolah, lulus kuliah, dan menerbangkan pesawat. Ia mandiri, cantik, berprestasi, dan menjadi orang yang berguna. Jadi, apa yang tidak dimiliki perempuan muda ini? Dua lengan!

Jessica adalah warga negara Amerika Serikat keturunan Filipina. Usianya 25 tahun. Ia tinggal di Tucson, Arizona.


Untuk diketahui, Jessica dilahirkan tanpa lengan. Orangtuanya tentu terkejut dan sedih dengan keadaannya. Namun mereka tidak putus asa. Mereka bisa menerima keadaan itu dan mengajari anak perempuannya hidup mandiri. Kedua kaki Jessica diajari melakukan banyak hal, antara lain untuk menggantikan fungsi kedua lengannya.

Bagaimana dengan Jessica? Awalnya, ia merasa malu, takut, dan tidak percaya diri. Sebab, keadaan fisiknya berbeda dengan orang lain. Untunglah, ia memiliki keluarga, teman-teman, dan guru yang luar biasa. Mereka menerima keadaannya dan mendukungnya.

"Aku ingat saat pertama kali akan tampil di panggung untuk pertunjukan tari. Aku malu dan khawatir semuanya tidak akan berjalan lancar. Jadi, aku bilang ke guruku, ‘Tolong tempatkan aku di barisan paling belakang'. Guruku berkata, ‘Tidak ada barisan belakang!'" Pertunjukan itu sukses dan Jessica terpacu untuk menjadi seorang penari.


Seorang pilot pesawat tempur yang tergabung dalam aksi amal Wright Flight juga berjasa. Ia menawari Jessica, yang awalnya takut terbang dan ketinggian, untuk belajar menerbangkan pesawat padanya. Awalnya, Jessica menolak. Namun pilot itu terus memaksa dan bilang bahwa Jessica akan menyukai terbang dan berada di atas awan. Akhirnya Jessica menerima tawaran itu dan menganggapnya sebagai salah satu tantangan terbesar dalam hidupnya. Kini Jessica sudah mengantongi lisensi pilot.


Atas semua kesuksesannya yang luar biasa itu, Jessica berkata, "Banyak hal yang tidak bisa dilakukan oleh seorang penyandang cacat. Namun saya tidak pernah mengatakan, ‘Saya tidak bisa'. Jika belum sukses dalam melakukan suatu hal, saya selalu mengatakan, ‘Saya belum berusaha keras!' Saya juga berusaha beradaptasi dengan dunia yang memerlukan dua lengan ini".

Kini, apa target Jessica? "Masih ada banyak hal di daftar keinginan saya. Hmmm... saya ingin bisa mengepang rambut dan memanjat tebing!" Ia juga ingin mengajari banyak hal pada orang-orang yang senasib dengannya. Mereka mungkin merasa kurang percaya diri, namun Jessica selalu menyemangati mereka dengan berkata, "Sayalah bukti bahwa Anda juga bisa melakukan banyak hal!"








Sumber: www.andriewongso.com

Selasa, 12 Mei 2009

Seto: Pola Pendidikan Harus Membuat Nyaman


SEMARANG, KOMPAS.com. Psikolog perkembangan anak, Seto Mulyadi, yang akrab disapa Kak Seto mengatakan bahwa pola pendidikan yang diterapkan di Indonesia seharusnya membuat siswa menjadi betah dan nyaman dalam mengikuti proses pendidikan.

Selama ini, pola pendidikan yang diterapkan cenderung menciptakan guru sebagai sosok yang menyeramkan dan menakutkan, kata Kak Seto seusai menghadiri rangkaian acara peluncuran Program Cinta Sekolahku PT Tiga Pilar Sejahtera (TPS) Food di Gedung Juang 45 Semarang, Sabtu (25/4).

Dengan begitu, proses pendidikan yang dilaksanakan tidak akan dapat berjalan secara optimal. Sebab, anak-anak justru menjadi takut untuk berangkat ke sekolah dan bertemu dengan gurunya, kata Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perlindungan Anak tersebut.

Ia mengatakan, sudah saatnya pemerintah mengambil langkah untuk mengubah pola pendidikan yang selama ini telah berjalan. Selama ini, proses pendidikan yang diterapkan, terutama dalam penyampaian mata pelajaran (mapel) di sekolah-sekolah, cenderung dilakukan secara kaku dan monoton, katanya.

Akibatnya, proses pendidikan yang dilakukan dengan cara tersebut hanya akan melahirkan robot-robot yang tidak mampu untuk berpikir dan bersikap kreatif.

Pola pendidikan yang seperti itu harus diubah karena tidak akan mampu memicu motivasi internal dan tingkat kreativitas siswa sebab motivasi internal sangat dibutuhkan untuk membuat siswa menjadi bersemangat dalam mengikuti proses pendidikan.

Menurut dia, masih terdapat sekitar 60 persen sekolah di Indonesia yang belum menerapkan pola pendidikan secara kreatif. Inilah yang harus diubah agar sebisa mungkin proses pendidikan dapat membuat siswa menjadi lebih kreatif dalam mengembangkan ilmu yang didapatnya di sekolah, katanya.

Peran serta pemerintah, lanjutnya, dibutuhkan dalam pengalokasian dana untuk meningkatkan kualitas dan kreativitas guru. Tidak hanya berupa pengadaan sertifikasi terhadap guru, kata Kak Seto.

Ia mengharapkan, sosok guru, yang semula dianggap menyeramkan dan menakutkan, sebaiknya diubah menjadi sosok yang lebih bersahabat. Guru harus menjadi sahabat anak-anak, katanya.

Guru harus bisa menyampaikan mapel dengan sikap yang lebih menyenangkan dan bersahabat, apa pun mapelnya, terutama mapel yang sering dianggap menyeramkan bagi siswa, misalnya Kimia, Fisika, dan Matematika, katanya.

Ia mengatakan, proses pentransferan ilmu kepada siswa tidak lagi dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan mulut dan tangan, tetapi harus dilakukan dengan hati. Misalnya, ada siswa yang tetap tidak paham meskipun telah berkali-kali diajari, sikap guru jangan lantas menganggap siswa tersebut bodoh dan tidak mampu, tegasnya.

Sebab, terdapat kemungkinan siswa tersebut memiliki pola belajar tersendiri, tidak seperti kebanyakan anak lainnya. Sehingga, guru harus lebih sabar dalam menghadapinya, katanya.

Ia mengatakan, sekolah-sekolah yang sudah menerapkan pola pendidikan kreatif di antaranya adalah sekolah alam dan program home schooling. Pola pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah tersebut dapat dijadikan contoh untuk memajukan dunia pendidikan di Indonesia, katanya.


Sumber: Kompas.Com
http://edukasi.kompas.com/read/xml/2009/04/25/16460314/seto.pola.pendidikan.harus.membuat.nyaman

Senin, 11 Mei 2009

Orangtua Kunci Mental Anak


KOMPAS.com. Uci, bocah berusia 11 tahun, pekan lalu nekat memanjat menara listrik saluran udara tegangan ekstra tinggi 150.000 volt di Cililitan, Kramat Jati, Jakarta Timur.

Dalam keadaan marah, dia memanjat menara itu hingga ke puncak tanpa takut jatuh, sementara orang-orang yang berada di bawah sudah hampir pingsan melihatnya. Ibunya, Ehan (41), tak kuat berdiri melihat Uci beberapa kali disambar burung di puncak menara.

Uci nekat memanjat menara listrik karena tidak sabar menanti sepeda yang akan dipinjamnya pulang. Uci yang sangat gemar bermain sepeda harus meminjam sepeda milik Endang, tetangganya, karena ayahnya tidak mampu membeli sepeda. Adapun Endang memerlukan sepeda itu untuk berjualan gas.

Untunglah, setelah dibujuk selama tiga jam dengan iming-iming sepeda akhirnya Uci bersedia turun.

Kenekatan seorang bocah dalam melakukan hal-hal yang berbahaya, bahkan ada juga bocah yang bunuh diri, makin lama kerap terjadi. Pemicunya kadang kala masalah yang sangat sederhana.

Apa yang mereka lakukan seperti yang orang dewasa lakukan. Ada yang gantung diri, ada yang terjun dari ketinggian, ada juga minum racun serangga.

Menurut psikolog dari Universitas Indonesia, Kristi Purwandari, penyebab bunuh diri tidak sesederhana seperti putus cinta, tertekan di sekolah, atau bertengkar dengan orangtuanya (Kompas, 5/4/2009).

Kristi mengatakan, praktisi kesehatan mental biasanya akan memilah faktor predisposisi (faktor pemberi pengaruh yang bersifat lebih mendasar) dari faktor pencetus situasional. Putus cinta faktor pencetus, tetapi kemungkinan besar ada faktor lebih mendasar, misalnya kerentanan pribadi menghadapi tekanan. Tentu situasi sangat sulit dapat mempermudah orang kurang tangguh menghayati keputusasaan dan ketidakberdayaan.

Sementara itu, pengajar di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, Adriana S Ginanjar, mengatakan, apa yang dilakukan anak-anak dalam menghabiskan hidupnya adalah mencontoh apa yang orang dewasa lakukan. ”Mereka mendapatkan informasi itu dari televisi, dari koran, atau dari pembicaraan dengan teman-temannya,” kata psikolog yang biasa dipanggil Ina.

Depresi

Dari Survei Kesehatan Rumah Tangga 1995 yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan, diketahui, prevalensi anak (5-14 tahun) yang mengalami gangguan mental adalah 104 dari 1.000 anak, sementara orang dewasa yang mengalami gangguan mental 140 dari 1.000 orang dewasa.

Belum ada data mutakhir untuk gangguan mental. Namun, Arist Merdeka Sirait, Sekjen Komisi Nasional Perlindungan Anak, memperkirakan, anak yang mengalami stres dan depresi saat ini lebih banyak. ”Situasi sosial ekonomi sekarang makin sulit dibandingkan empat belas tahun lalu. Orangtua pasti stres. Jika orangtua stres, anak pun akan tertekan,” kata Arist.

Data di Litbang Kompas menunjukkan, sepanjang tahun 2005-2008 ada 26 anak berusia 5-17 tahun yang bunuh diri. Tingginya angka anak yang bunuh diri ini menunjukkan anak tidak sekadar mengalami stres, tetapi sudah mengalami depresi. Dengan informasi dan wawasan yang belum luas, seorang anak yang depresi bisa mengambil tindakan yang berbahaya.

Ina mengatakan, orangtua dengan kondisi sosial ekonomi menengah ke bawah sering kali kesulitan memberikan perhatian kepada anak karena mereka sudah kelelahan mencari nafkah.

Uci datang dari keluarga dengan ekonomi lemah. Kedua orangtuanya sibuk berjualan tahu goreng keliling. Ketika Uci minta sesuatu, bisa jadi karena tidak sanggup memenuhi dan sudah kelelahan, Uci justru dimarahi. Dia lalu naik ke menara. Kenekatan Uci memanjat menara, pekan lalu, adalah yang keempat kalinya. Setelah dia memanjat, barulah orangtuanya memenuhinya.

”Ketika anak minta sesuatu dan orangtua tidak memenuhi, anak jadi marah. Setelah dia berbuat sesuatu yang dramatis, barulah orangtua memerhatikan,” kata Ina.

Kenekatan ini tentu saja berbahaya karena seorang anak tidak mempunyai informasi yang cukup mengenai tindakan yang diambil. Seperti kenekatan Uci memanjat menara listrik, selain bisa membahayakan jiwanya, kenekatan itu juga mengancam pasokan listrik. Jika tubuh Uci terseret medan listrik, sudah pasti terjadi hubungan pendek arus listrik dan matilah listrik se-Jawa-Bali.

Komunikasi

Arist mengatakan, tekanan sosial ekonomi yang makin berat hanya bisa dikurangi dengan komunikasi yang baik antara orangtua dan anak. ”Jika orangtua memang tidak bisa memenuhi keinginan anak, berikan penjelasan mengapa permintaannya tidak bisa dipenuhi.”

Komunikasi yang baik dan berkualitas ini akan bisa menjelaskan mengapa dia tidak bisa membeli barang-barang kebutuhan yang diiklankan di televisi, misalnya. ”Tidak mungkin kita menutup stasiun televisi atau mencegah lingkungan sosial mengganggu ketenteraman anak. Kita juga sulit mengubah kurikulum sekolah yang tidak ramah pada anak,” ujar Arist.

Jika anak hanya dilarang atau ditolak permintaannya, anak akan menjadi bingung, ke mana lagi dia akan meminta. Sementara orangtua adalah satu-satunya idola yang dimiliki.


Oleh: M. CLARA WRESTI
Sumber: Kompas Cetak
http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/04/27/
06125025/Orangtua.Kunci.Mental.Anak

Didik Anak Sesuai Potensi


KOMPAS.com. Rian (10), siswa kelas IV SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya, duduk tenang di kursinya dan menyimak guru kelas menerangkan pelajaran. Persis di depannya, seorang guru lain mendampingi dan sewaktu-waktu siap membantu Rian yang tampak gelisah atau kesulitan mencerna pelajaran.

Sekilas memang tidak tampak perbedaan fisik antara Rian yang menderita gangguan autis dan anak-anak lain. Dengan pendampingan secara khusus di kelas, Rian akhirnya tidak kesulitan untuk beradaptasi di kelas.

Keberadaan Rian untuk bisa bergabung di kelas reguler itu setelah melalui tahapan kelas khusus dan kelas preklasikal. Tujuannya untuk menyiapkan bocah lelaki itu mampu bergabung dengan anak-anak lainnya.

SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya awalnya adalah sekolah reguler yang diperuntukkan bagi anak-anak normal. Namun, kebutuhan masyarakat sekitar yang ingin supaya anak berkebutuhan khsusus tak diasingkan di sekolah luar biasa membuat Kepala Sekolah SDN Klampis Ngasem I-246, Sukarlik, sejak 1989 coba membaurkan anak- anak normal dengan anak-anak berkebutuhan khusus.

Dengan keyakinan bahwa setiap anak punya potensi jika dilayani sesuai kebutuhan dan kemampuannya, guru-guru di sekolah ini menerima anak berkebutuhan khusus, mulai dari yang menderita down syndrome, lambat belajar, autis, hiperaktif, tunarungu, tunanetra, dan cacat fisik. Mereka belajar dalam satu lingkungan dengan anak-anak reguler lainnya.

Anak-anak berkebutuhan khusus yang dilecehkan karena dianggap tidak punya harapan untuk bisa ”berprestasi” nyatanya mampu menunjukkan potensi dirinya.

”Kuncinya, anak-anak ini diidentifikasi kebutuhannya lalu ditangani sesuai kebutuhannya. Ketika mereka berada dalam lingkungan dengan anak-anak reguler, itu bisa memacu mereka untuk mau bersosialisasi. Anak-anak reguler juga belajar untuk memahami, menerima, dan membantu teman-teman mereka yang punya beragam kekhususan itu,” kata Dadang Bagoes Prihantono, koordinator sekolah inklusi di SDN Klampis Ngasem I-246 Surabaya.

Tetap Konsisten

Di tengah keterbatasan sarana dan prasarana untuk bisa memberikan layanan pendidikan yang baik buat anak-anak berkebutuhan khusus, nyatanya sekolah ini selama 20 tahun tetap bisa konsisten melayani setiap anak secara personal. Dengan pendidikan yang berfokus pada kondisi dan kebutuhan anak, perkembangan anak-anak berkebutuhan khusus dalam bersosialisasi dan belajar semakin baik sehingga mereka tidak kesulitan saat belajar bersama di kelas reguler.

Dadang menjelaskan, layanan bertahap yang diberikan kepada anak-anak berkebutuhan khusus itu lahir dari pengalaman para guru saat melayani dan mengevaluasi setiap anak. Sekolah ini menyediakan 44 guru khusus yang siap melayani 133 anak berkebutuhan khusus.

Sukarlik mengatakan, para guru ini umumnya guru honorer dari pendidikan luar biasa. Mereka dimotivasi untuk punya hati yang tulus melayani anak didik di tengah keterbatasan gaji yang mereka peroleh.

Di sekolah ini, anak-anak berkebutuhan khusus yang kondisinya masih berat untuk bersosialisasi dengan anak-anak reguler lainnya dimasukkan ke kelas khusus. Di sini satu guru melayani satu siswa atau satu guru dua siswa.

Jika dari hasil evaluasi menunjukkan anak sudah bisa bergabung dengan siswa lain, dia bisa dimasukkan ke kelas praklasikal. Di sini anak-anak berkebutuhan khusus dilayani dalam kelompok kecil sekitar 15 anak dengan 2-3 guru.

Lima Bidang Pelajaran

Anak-anak itu sudah belajar lima bidang pelajaran, yakni Pendidikan Kewarganegaraan, Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS. Untuk pelajaran olahraga dan keterampilan, anak-anak itu digabungkan dengan kelas reguler.

Layanan lain yang diberikan adalah kelas remedi. Anak-anak yang memiliki gangguan belajar dibantu secara khusus oleh guru untuk mengatasi kesulitan belajarnya sehingga tidak terhambat lagi saat belajar di kelas.

Selain itu, ada pendampingan. Anak berkebutuhan khusus yang sudah bisa bergabung di kelas reguler didampingi guru supaya dia tidak kesulitan beradaptasi. Yang terakhir, inklusi penuh di mana anak berkebutuhan khusus tadi siap dilepas di kelas tanpa pendampingan. Umumnya ini dijalani anak- anak yang menderita autis dan lambat belajar.

Menurut Sukarlik, sekolah inklusi itu bukan sekadar menghadirkan anak berkebutuhan khusus di sekolah. Yang penting justru bagaimana anak-anak ini mendapat layanan khusus sesuai kebutuhannya.

Anak Berbakat

Layanan anak berkebutuhan khusus juga dibutuhkan anak- anak cerdas istimewa yang memiliki IQ 130 ke atas. Anak-anak ini justru sering diidentifikasi sebagai bermasalah karena ketidaktahuan gurunya.

Kepala SD Adik Irma Jakarta, Loly Widiaty, mengatakan, potensi kecerdasan istimewa anak dilihat dari pendekatan Renzulli terdiri atas IQ di atas rata-rata, kreativitas, dan task commitment. ”Anak-anak ini sering menawarkan ide-ide unik dan tidak biasa sehingga sering dianggap aneh,” kata Loly.

Untuk melayani anak-anak cerdas ini tidak mesti dengan guru yang cerdas. Yang dibutuhkan justru guru kreatif yang mampu merangsang anak untuk mengembangkan kemampuan berpikirnya secara bebas.

Di Sekolah Adik Irma, anak- anak cerdas istimewa belajar di kelas khusus. ”Namun untuk pelajaran lain, seperti seni dan olah raga, mereka digabung dengan anak-anak reguler lainnya,” kata Ketua Yayasan Pembina Pendidikan Adik Irma, Amita M Haroen.

Dari penelitian yang dilakukan, diperkirakan terdapat sekitar 2,2 persen anak usia sekolah memiliki kualifikasi cerdas istimewa. Menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2006, ada 52.989.800 anak usia sekolah. Artinya, terdapat sekitar 1.059.796 anak cerdas/berbakat istimewa di Indonesia.

Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak Seto Mulyadi mengatakan, harus ada kelenturan dalam kurikulum pendidikan di negara ini untuk bisa melayani kepentingan terbaik bagi anak. Sekolah jangan hanya mengejar kemampuan akademik dengan mengorbankan pengembangan karakter dan kreativitas setiap anak.


Oleh: Ester Lince Napitupulu
Sumber: Kompas Cetak
http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2009/03/17/03132718 /Didik.Anak.Sesuai.Potensi

3 Bidang Penting Dalam Pendidikan


Meraih masa depan cerah dengan pendidikan untuk mendapatkan keamanan finansial merupakan salah satu tujuan dalam menjalani karir dan dalam berbisinis disamping tujuan tujuan yang lain yakni ingin mendapatkan pengakuan, penghormatan dan tujuan sosial lainnya. Untuk itu diperlukan perencanaan yang matang sejak usia dini atau masa pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu modal dalam berkarir dan berbisnis.

Dalam menempuh pendidikan ada 3 hal penting yang diperlukan oleh orang tua, pembelajar/siswa, guru, atau perencana pendidikan. Yakni mengenai materi pendidikan yang perlu diajarkan:

1. Pendidikan Scholastic(dasar).
Seperti agama, berhitung dan bahasa dan kesehatan.
Agama. Pendidikan agama sangat diperlukan karena dengan memiliki agama, maka seseorang bisa memperoleh petunjuk, motivasi, kedamaian, ketenangan jiwa, kesehatan rohani atau soul health.

Berhitung atau matematika diperlukan agar kelak siswa bisa berpikir matematis dan bisa membuat perhitungan-perhitungan untuk perencanaan, penelitian, aktivitas berdagang dan aktivitas lain yang mana angka-angka sangat diperlukan dalam dunia kerja.

Bahasa Indonesia atau bahasa asing agar siswa bisa berkomunikasi dengan baik secara lesan dan tulis. Dewasa ini banyak informasi bisa diperoleh dari media cetak dan elektronik(internet) apalagi kemampuan bahasa Inggris sangat dibutuhkan dalam menyerap ilmu pengetahuan baru dan berkomunikasi secara verbal.
Pendidikan kesehatan kepada siswa diperlukan agar kelak minimal bisa menjaga kesehatannya sendiri.

2. Pendidikan Ketrampilan(skill)
Pendidikan ketrampilan diperlukan dalam dunia kerja , memperoleh kerja atau membuat usaha usaha mandiri. Ketrampilan bisa berupa bertani, memasak, menjahit, mengetik, computer, mekanik, mengajar, manajemen, memasarkan, elektronika, dll.

3. Pendidikan Keuangan(financial education)
Pendidikan ini diperlukan agar seseorang bisa mengelola keuangannya dengan baik. Bagaimana agar perekonomian rumah tangga agar tidak goyah, mengatur belanja, tabungan atau investasi.

Dengan 3 bidang pilar pendidikan tersebut, maka seseorang memiliki modal untuk mencapai kesuksesan hidup. Selanjutkan diperlukan penekanan terhadap konsistensi diri untuk menerapkan ilmunya yang diperoleh dalam belajar secara terus menerus sehingga ilmu yang didapat melekat secara permanen pada diri pembelajar dan berguna bagi diri sendiri atau orang lain.


Referensi: Rich Dad Poor dad, Robert. T. Kiyosaki
Sumber: www.sman1singaparna.sch.id

Keterbatasan Fisik Tak Jadi Penghalang Ikut Ujian


Solo (Espos). Dengan sabar, salah satu petugas pengawas ujian, Baniyah membacakan setiap pertanyaan dalam Ujian Akhir Sekolah berstandar Nasional (UASBN) kepada salah satu peserta, Noviani Yunitasari.

Dibutuhkan waktu 120 menit bagi Baniyah untuk membantu siswa kelas VI Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) Yayasan Pembinaan Anak Cacat (YPAC) D1 Cabang Kota Solo ini dalam menjawab setiap pertanyaan mata pelajaran Bahasa Indonesia itu.

Baniyah sadar betul, anak didiknya yang satu ini mempunyai keterbelakangan mental dan fisik yang masuk golongan D1. Untuk itu, selama pelaksanaan UASBN, diperlukan penanganan khusus agar mereka tetap dapat mengikuti ujian. Dengan sabar ia membacakan pertanyaan demi pertanyaan secara perlahan-lahan. Akan tetapi, sering kali Novi terlihat malas-malasan dalam menjawab setiap pertanyaan itu. Sesekali Baniyah mengajak Novi untuk bernyanyi. Menurut Baniyah, dengan bernyanyi diharapkan bisa memusatkan kembali konsentrasi Novi untuk menyelesaikan soal yang dibuat khusus dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah (Jateng) itu.

”Diperlukan cara khusus menanganinya, misal untuk menjawab soal, kami masih mengarahkan tangan Novi untuk menuliskan jawabannya dalam lembar jawab yang telah tersedia,” paparnya saat ditemui Espos di tempat ujian, Senin (11/5).

Baniyah menambahkan, kendati Novi memiliki keterbatasan mental dan fisik, Novi masih memiliki motivasi besar untuk belajar bersama teman-temannya. Didukung dengan kasih sayang orangtuanya yang selalu mengantar dan menjemputnya dari sekolah, Novi kian termotivasi untuk belajar. ”Kalau tidak sekolah, Novi biasa menangis di rumah. Tetapi di sini (YPAC-red), Novi bisa belajar dan bersosialisasi bersama teman-teman senasib,” tutur Baniyah.

Enam Siswa

Sementara itu, Kepala SDLB YPAC Cabang Solo, Mugiyono mengatakan pada tahun ini, jumlah peserta UASBN di sekolah yang ia tangani mencapai enam siswa. Menurutnya, keenam siswa itu terdiri atas lima siswa cacat fisik (D) dan satu siswa cacat fisik dan mental (D1). Bagi siswa golongan D, lanjut Mugiyono, jenis soal yang dikerjakan sama dengan soal reguler yang diterbitkan dari pusat. Akan tetapi, khusus siswa golongan D1 soalnya didatangkan dari Provinsi Jateng.

Mugiyono menambahkan, meskipun belajar dalam keterbatasan, prestasi siswa YPAC Solo bisa dibanggakan. Menurutnya, pada tanggal 5 Mei lalu, YPAC Solo berhasil mendapat juara 1 dalam Lomba Sains untuk pelajaran Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang diadakan di Karanganyar. ”Setelah juara tingkat Soloraya, kami berharap bisa melanjutkan prestasi hingga ke tingkat provinsi pada bulan depan,” tandasnya.


Sumber: www.solopos.co.id

Minggu, 10 Mei 2009

Pokoke SIP Tenan...

SIP (News). BBK-SIP menjadi sponsor utama dalam acara seleksi calon peserta Festival Anak Sholeh Indonesia (FASI) III se-Kecamatan Grogol yang diadakan oleh Badan Koordinasi Taman Pendidikan Al Qur’an (Badko TPQ) kecamatan Grogol kabupaten Sukoharjo, Ahad (25/05/2009) lalu.


Acara yang diikuti oleh perwakilan TPQ se-Kecamatan Grogol tersebut dilaksanakan di Masjid At-Taqwa Babadan, Madegondo, Grogol. Adapun jenis-jenis lomba yang dilombakan dalam kegiatan tersebut, antara lain:



Dokumentasi Kegiatan:

Para perwakilan peserta sudah hadir di lokasi


Salah satu perwakilan TPQ sedang mendaftarkan peserta lomba


Tilawah Al Qur’an oleh adik Fadhilah Ulinnuha (Pemenang Juara Lomba Pidato Bahasa Indonesia FASI II Tingkat Provinsi)


Salah satu peserta Lomba Mewarnai perwakilan dari TPQ Baitussalam Pondok tampak serius mewarnai gambar yang disediakan oleh panitia


Para peserta Lomba Mewarnai


Para peserta Lomba Pidato


Para peserta Lomba Menggambar


Para peserta Lomba Kaligrafi


Para peserta Lomba Adzan dan Iqomah


Para peserta Lomba Tilawah Al Qur’an


Salah satu peserta Lomba Tilawah Al Qur’an sedang membaca Al Qur’an di hadapan Dewan Juri


Para peserta Lomba Cerdas Cermad Qur’ani (CCQ)


Pembagian doorprize dari BBK-SIP sebagai sponsor utama-1


Pembagian doorprize dari BBK-SIP sebagai sponsor utama-2



Reporter:
Iwan Setiyoko
(Kepala Divisi Marketing dan Publikasi BBK-SIP)

11.062 Siswa SD ikuti UASBN


Sukoharjo (Espos). Sebanyak 11.062 siswa Sekolah Dasar (SD) di Sukoharjo, (Senin, 11/5) ini, mulai menjalani Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN). Untuk meminimalisasi kecurangan, panitia akan memberlakukan standar pengamanan maksimal.

Seperti pelaksanaan Ujian Nasional, pengawasan dalam UASBN kali ini akan diberlakukan secara silang. Peserta ujian dijaga oleh pengawas yang merupakan guru dari sekolah lain. Tak hanya itu, panitia juga bakal memperketat penggunaan telepon seluler selama ujian, baik oleh peserta ujian maupun pengawas. “Hal ini belum kami umumkan, nanti saat pelaksanaan ujian, Ponsel yang dibawa peserta ke dalam ruangan akan langsung diamankan pengawas hingga ujian selesai,” terang Kabid TK/SD Dinas Pendidikan (Disdik) Kabupaten Sukoharjo, Sukardi di Sukoharjo, Minggu (10/5).

Larangan membawa telepon seluler ke dalam ruang ujian, tidak hanya berlaku bagi peserta melainkan juga para pengawas. ”Pengawas juga kami minta tidak membawa Ponsel ke ruangan. Hal ini sebagai bentuk antisipasi kecurangan,” lanjut Sukardi.

Sementara itu, berdasar data Disdik, di Sukoharjo tercatat ada 487 sekolah dasar (SD) penyelenggara UASBN terdiri atas sekolah negeri dan swasta. Ada tiga mata pelajaran yang akan diujikan yaitu bahasa Indonesia, Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Berbeda dengan kelulusan ujian tingkat SMP dan SMA, untuk ujian SD, kelulusan ditentukan oleh pihak sekolah masing-masing.

Terkait dengan standar kelulusan, Sukardi mengaku, pihaknya cukup optimistis dapat mencapai target kelulusan. Pasalnya, berbagai persiapan telah dilakukan secara maksimal, ditambah lagi, tahun ini tidak ada perubahan peraturan yang berpengaruh besar pada angka kelulusan.

Lebih lanjut, mengenai standar kelulusan 6,0 yang diberlakukan tahun ini, Sukardi menyebut hal itu merupakan hasil kesepakatan dewan guru. Mengacu pada pelaksanaan ujian tahun lalu, ia optimistis, standar kelulusan itu akan dicapai dengan mudah oleh peserta didik.


Sumber: www.solopos.co.id

Hari ini, 10.208 siswa SD ikuti UASBN


Solo (Espos). Sebanyak 10.208 siswa sekolah dasar (SD) negeri dan swasta yang sederajat, Senin (11/5) ini, mengikuti Ujian Akhir Sekolah Berstandar Nasional (UASBN). Ujian tersebut akan berlangsung hingga Rabu (13/5).


Sebanyak 10.208 siswa itu, terdiri atas 10.084 siswa SD, 101 siswa madrasah ibtidaiyah (MI) dan 23 siswa sekolah dasar luar biasa (SDLB). Kepala Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Solo, Drs H Amsori SH MPd mengatakan pihaknya telah menerima naskah soal dari Provinsi Jawa Tengah (Jateng) pada Jumat (8/5) lalu. Naskah disimpan di suatu tempat yang ditunjuk menjadi pusat rayon di Kota Solo. Pada Minggu (10/5), soal itu didistribusikan ke subrayon atau masing-masing Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Dinas Pendidikan di kecamatan. Saat ditanya pengamanan naskah soal itu, Amsori mengatakan menerapkan sistem pengamanan yang sama dengan pelaksanaan Ujian Nasional (UN) sebelumnya.

”Demi menjaga keamanan naskah soal, kami melibatkan aparat polisi yang berjaga selama 24 jam dengan sistem shift jaga siang dan malam. Di samping itu, aparat polisi juga akan melakukan penjagaan di masing-masing UPTD,” tutur Amsori saat ditemui Espos di SMA 1 Solo, akhir pekan lalu.

Lemari Khusus

Sementara itu, Ketua Panitia Ujian Nasional dan UASBN, Drs Maskuri mengatakan sebanyak 23 peserta ujian dari SDLB di Kota Solo meliputi empat jenis, yakni SDLB A, B, D, dan E. Untuk naskah soal SDLB, lanjut Maskuri, terdiri dari dua jenis yakni, soal reguler dan soal nonreguler. ”Baik reguler maupun nonreguler, sebagian soal disiapkan dari pusat, sedang sebagian lagi disiapkan dari provinsi,” paparnya.

Ditemui di tempat berbeda, pengawas wilayah gugus III Jebres, Paidi Mpd mengatakan pengawasan naskah soal USBN dilakukan secara ketat oleh aparat kepolisian, Minggu (10/5). Menurutnya, di masing-masing UPTD disiapkan lemari khusus untuk menyimpan naskah soal itu. ”Lemari itu dilindungi dengan kunci pengaman khusus, serta di bawah pengawasan aparat polisi selama 24 jam, sehingga sangat kecil terjadi kebocoran soal,” tandasnya.

Jadwal UASBN

Senin (11/5) Bahasa Indonesia
Selasa (12/5) Matematika
Rabu (13/5) IPA

Jadwal UASBN Susulan

Senin (18/5) Bahasa Indonesia
Selasa (19/5) Matematika
Jumat (22/5) IPA


Sumber: www.solopos.co.id