Kamis, 30 April 2009

Ki Hadjar Dewantara dan Hari pendidikan Nasional


“TANAH air kita meminta korban. Dari di sinilah kita, siap sedia memberi korban yang sesuci-sucinya… sungguh, korban dengan ragamu sendiri adalah korban yang paling ringan… memang awan tebal dan hitam menggantung di atas kita. Akan tetapi percayalah di baliknya masih ada matahari yang bersembunyi… kapan hujan turun dan udara menjadi bersih karenanya?” (Ki Hadjar Dewantara).

Siapa yang tidak kenal sosok tokoh pendidikan Bapak Ki Hadjar Dewantara, tokoh yang berjasa memajukan pendidikan di Indonesia. Ki Hadjar yang bernama asli R.M. Suwardi Suryaningrat merupakan tokoh pendidikan nasional. Aktivitasnya dimulai sebagai jurnalis pada beberapa surat kabar dan bersama EFE Douwes Dekker, mengelola De Expres. Ki Hadjar pun aktif menjadi pengurus Boedi Oetomo dan Sarikat Islam. Selanjutnya bersama Cipto Mangun Kusumo dan EFE Douwes Dekker — dijuluki ”Tiga Serangkai” — ia mendirikan Indische Partij, sebuah organisasi politik pertama di Indonesia yang dengan tegas menuntut Indonesia merdeka. Pada zaman Jepang, peran Ki Hadjar tetap menonjol. Bersama Soekarno, Hatta, dan Mas Mansur, mereka dijuluki “Empat Serangkai”, memimpin organisasi Putera. Ketika merdeka, Ki Hadjar menjadi Menteri Pengajaran Pertama.

Ajaran kepemimpinan Ki Hadjar Dewantoro yang sangat poluler di kalangan masyarakat adalah Ing Ngarso Sun Tulodo, Ing Madyo Mbangun Karso, Tut Wuri Handayani. Yang pada intinya bahwa seorang pemimpin harus memiliki ketiga sifat tersebut agar dapat menjadi panutan bagi bawahan atau anak buahnya.

Ing Ngarso Sun Tulodo artinya Ing ngarso itu didepan / dimuka, Sun berasal dari kata Ingsun yang aratinya saya, Tulodo berarti tauladan. Jadi makna Ing Ngarso Sun Tulodo adalah menjadi seorang pemimpin harus mampu memberikan suri tauladan bagi bawahan atau anak buahnya. Sehingga yang harus dipegang teguh oleh seorang pemimpin adalah kata suri tauladan. Sebagai seorang pemimpin atau komandan harus memiliki sikap dan perilaku yang baik dalam segala langkah dan tindakannya agar dapat menjadi panutan bagi anak buah atau bawahannya. Banyak pimpinan saat ini yang sikap dan perilakunya kurang mencerminkan sebagai figur seorang pemimpin, sehingga tidak dapat digunakan sebagai panutan bagi anak buahnya. Sama halnya dengan Ing Madyo Mbangun Karso, Ing Madyo artinya di tengah-tengah, Mbangun berarti membangkitan atau menggugah dan Karso diartikan sebagai bentuk kemauan atau niat. Jadi makna dari kata itu adalah seorang peminpin ditengah kesibukannya harus juga mampu membangkitkan atau menggugah semangat kerja anggota bawahanya. Karena itu seorang pemimpin juga harus mampu memberikan inovasi-inovasi dilingkungan tugasnya dengan menciptakan suasana kerja yang lebih kodusif untuk keamanan dan kenyamanan kerja. Demikian pula dengan kata Tut Wuri Handayani, Tut Wuri artinya mengikuti dari belakang dan handayani berati memberikan dorongan moral atau dorongan semangat. Sehingga artinya Tut Wuri Handayani ialah seorang komandan atau pimpinan harus memberikan dorongan moral dan semangat kerja dari belakang. Dorongan moral ini sangat dibutuhkan oleh bawahan, karena paling tidak hal ini dapat menumbuhkan motivasi dan semangat kerja.

Untuk mengenang jasa beliau, maka PERINGATAN Hari Pendidikan Nasional 2 Mei tidak bisa dipisahkan dari sosok Ki Hadjar Dewantara, tokoh yang berjasa memajukan pendidikan di Indonesia. Semoga kita sebagai generasi muda bisa melanjutkan cita-cita beliau, dan dapat mengamalkan ajaran yang telah diberikan. (Amin)

"SELAMAT HARI PENDIDIKAN NASIONAL - 02 MEI 2009"


Sumber: pikiran-rakyat.com

Kontroversi UN dan Mutu Pendidikan


Harus diakui, bahwa kualitas pendidikan kita masih jauh dari harapan. Hal ini tidak lepas dari berbagai persoalan yang menjadi penghambat peningkatan kualitas pendidikan kita ke arah yang lebih progresif, sehingga idealisme untuk mencapai pendidikan berkualitas masih belum teraktualisasi.

Masalah-masalah mendasar, seperti pemerataan pendidikan, kesejahteraan guru, perbaikan gedung sekolah, pembiayaan pendidikan merupakan problem yang selalu menyita perhatian banyak pihak, ketimbang substansi dari peningkatan kualitas pendidikan. Problem tersebut, setidaknya akan memberikan implikasi negatif terhadap masa depan pendidikan nasional.

Apalagi tingkat mutu pendidikan nasional berada pada posisi yang sangat rendah. Bandingkan dengan negara-negara tetangga kita yang telah menunjukkan peningkatan signifikan dan perubahan mendasar dari kualitas pendidikannya, semisal Malaysia, Singapura, Filipina dan negara tetangga yang lain.

Dunia pendidikan kita memang tidak pernah lepas dari berbagai problema, termasuk persoalan UN yang selalu memunculkan kontroversi di kalangan pendidik, praktisi, orang tua dan juga siswa sendiri. Setiap tahun polemik UN menyita banyak energi dan perhatian. Pertanyaan yang harus dijawab secara mendasar, mau dibawa ke mana pendidikan kita dewasa ini?

Secara latah, praktik UN mencoba mengadopsi secara sepihak tuntutan modernisasi, namun lupa membangun etika budaya sebagai manusia yang cinta bangsa dan tanah air. Jika anak didik hanya memperdalam Matematika, Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris -karena mata ajaran itu yang diujikan dalam ujian nasional, maka tidak ada keseriusan anak didik mempelajari pendidikan moral, agama, budi pekerti, sejarah, nilai-nilai kemanusiaan dan kejuangan karena tidak pernah akan diujikan dan menentukan kelulusan.

Terhadap UN misalnya, pemerintah selalu mengatakan penyelenggaraan model itu sudah mengadopsi negara-negara maju. Yang dilupakan, di negara-negara tetangga kita pendidikan menyebar cukup merata sehingga standarisasi yang bersifat nasional mudah diterapkan. Bandingkan dengan Indonesia, sarana-prasarana, guru, laboratorium, pelaksanaan kurikulum, SDM guru masih timpang. Meski anak Jakarta belajar di ruang-ruang berpendingin, banyak anak daerah bersekolah di sekolah tanpa dinding, tanpa atap, dan akses informasi amat terbatas. Pendidikan kita yang belum merata tidak layak dibandingkan dengan negara-negara tetangga.

Kebingungan

Penyelenggaraan UN dalam dunia pendidikan, memang menyisahkan kebingungan bagi pihak yang berkompeten dengan kemajuan pendidikan, termasuk orang tua, anak didik, guru, praktisi pendidikan, dan masyarakat secara umum. Kebingungan di sini, tidak lepas dari munculnya dilema antara harapan dan kekhawatiran.

Pada satu sisi, UN merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan anak didik dalam mengikuti mata pelajaran. Dengan kata lain, UN menjadi penilaian terakhir yang sangat mendebarkan, apakah anak didik lulus atau tidak? Namun di sisi lain, UN mejadi dilema bagi anak didik, karena penentu kelulusan belajar hanya ditentukan dalam satu hari. Jika anak didik tidak lulus ketika mengikuti UN, maka secara otomatis, ia harus mengulang untuk satu tahun ke depan.

Dilema UN tidak saja mengkhawatirkan bagi anak didik yang terlibat langsung, melainkan juga dirasakan oleh pihak orang tua dan para guru yang tidak setuju UN dijadikan satu-satunya penentu kelulusan. Padahal, aspek penilaian keberhasilan anak didik memiliki banyak variasi dan dinilai dari berbagai aspek. Salah satunya adalah penekanan pada aspek psikomotorik dan afektif.

Pada titik inilah, UN menjadi bumerang dalam dunia pendidikan. Betapa tidak, pelaksanaan UN tidak semulus apa yang kita bayangkan, karena selalu menghadirkan perdebatan dan kontroversi yang beragam. Munculnya perdebatan dan kontrovorsi seputar perlu tidaknya UN dilaksanakan, menunjukkan bahwa masyarakat tidak siap UN dijadikan satu-satunya penentu kelulusan.

Cermin Kualitas?

Kita tahu, passing grade UN tahun ini mencapai 5,25. Angka ini, bagi anak didik yang tidak memiliki kognisi tinggi, tentu sangat mengkhawatirkan. Ini karena, untuk mencapai target tersebut, dibutuhkan keseriusan dan kesungguhan dalam belajar, sehingga bisa melewati UN dengan baik.

Berbeda dengan anak didik yang memiliki kemampuan di atas rata-rata. Tentu, UN bukan merupakan penghalang dan penghambat dalam mencapai kesuksesan belajar. Selain didukung oleh mental yang siap, mereka juga memiliki kecerdasan kognitif yang mumpuni untuk nenghadapi UN dengan tenang.

Pertanyaannya sekarang, apakah UN merupakan indikator kualitas pendidikan? Menurut hemat saya, UN bukan merupakan cermin kualitas pendidikan. Karena disadari, cermin kualitas pendidikan tidak ditentukan oleh penilaian subjektif, seperti UN. Penilaian subjektif di sini adalah penilaian yang tidak memperhatikan aspek penilaian lain yang lebih penting dengan hanya memfokuskan pada penilaian kognitif semata. Padahal, penilaian kognitif merupakan penilaian yang mengabaikan aspek kreativitas dan tingkah laku anak didik.

Seharusnya, UN tidak hanya bertumpu pada penilaian kognitif, melainkan harus diintegrasikan dengan penilaian psikomotorik dan afektif. Ketika UN menjadi penentu kelulusan anak didik, maka ketekunan belajar harus menjadi prioritas utama. Ketekunan anak didik, akan sangat berarti untuk menghadapi UN yang kompetitif dan ketat. Apalagi, UN merupakan penilaian secara umum yang dilaksanakan pemerintah dan mendiknas.

Dengan penilain yang integratif ini, pelaksanaan UN akan semakin bermutu dan jaminan atas kualitas pendidikan juga akan sangat menentukan. Pada titik inilah, UN tidak saja akan menentukan, namun juga menjadi indikator keberhasilan anak didik untuk menggapai masa depan yang gemilang. (harianjoglosemar.com)


Oleh:
Mohammad Takdir Ilahi
Penulis adalah Peneliti utama pada The Annuqayah Institute Yogyakarta Tengah Studi Perbandingan Agama di UIN Yogyakarta

Kinerja Penyelenggara UN Belum Memuaskan


SEMARANG(SI). Pengamat pendidikan Kota Semarang, Muhdi MH menilai,kinerja panitia penyelenggara Ujian Nasional (UN) tahun ajaran 2008/2009 belum memuaskan.

Meski penyelenggara mengklaim pelaksanaan UN berlangsung lancar, tetapi faktanya di lapangan masih ada berbagai kejadian. Dia menyatakan, baik pelaksanaan UN jenjang SMA yang sudah selesai maupun SMP yang sedang berlangsung, terdapat berbagai kejadian yang bisa merugikan peserta ujian.Permasalahan mulai seperti tertukarnya soal ujian, lembar jawab UN (LJUN) terlipat, gangguan keramaian,pengawas satuan pendidikan masuk ruang ujian,dan soal yang terlalu sulit masih menjadi laporan dari para peserta ujian.

Dia menyatakan, kejadian LJUN yang terlipat bisa membuat lembar jawab tak terbaca saat proses scaning. “Sehingga akan mengurangi nilai siswa yang mengikuti UN.” Permasalahan seperti itu sebenarnya merupakan hal teknis yang menjadi tanggung jawab penyelenggara UN.“Sehingga kesalahan dan kekurangbaikkan apapun yang terkait pelaksanaan ujian, akan berpengaruh pada mental siswa,’’ jelas Pembantu Rektor I IKIP PGRI Semarang ini.

Muhdi menilai, karena fakta seperti itu maka kinerja penyelenggara UN tahun ini,masih belum memuaskan.“ Saya berharap ke depan penyelenggara bekerja lebih baik dan cermat lagi,serta lebih hati-hati dalam menjaga kualitas semua aspek terkait pelaksanaan UN.” (m abduh)


Wednesday, 29 April 2009
Sumber: www.seputar-indonesia.com

Rabu, 22 April 2009

UN yang Jujur


Meski terus menerus diprotes sebagian guru, praktisi pendidikan dan masyarakat peduli pendidikan, namun Ujian Nasional atau UN 2009 tetap akan digelar. Untuk tingkat SMA/MA, UN utama dilaksanakan pada tanggal 20 sampai 24 April 2009, dan UN susulan mulai tanggal 27 April sampai 1 Mei 2009. Pada tingkat SMP/MTs/SMPLB, UN utama akan berlangsung mulai tanggal 27 sampai 30 April 2009, sedangkan UN susulan, mulai tanggal 4 hingga 7 Mei 2009.

UN 2009 ditetapkan standar untuk siswa yang berhal lulus; pertama, memiliki nilai rata-rata minimal 5,50 untuk seluruh mata pelajaran yang diujikan, dengan nilai minimal 4,00 untuk paling banyak dua mata pelajaran dan minimal 4,25 untuk mata pelajaran lainnya. Kedua, khusus untuk SMK nilai uji kompetensi keahlian minimum 7,00 dengan nilai teori kejuruan minimum 4,00 nilai uji kompetensi keahlian digunakan untuk menghitung nilai rata-rata UN (Puspendik, 2009).

Diakui memang, orang tua mulai stres memikirkan bagaimana anaknya yang kini duduk di bangku kelas III SMP dan SMA sederajat bisa lulus ujian nasional (UN). Pihak sekolah (umumnya di kota) sejak bulan Januari sudah melakukan berbagai kegiatan ekstra untuk menyiapkan siswanya menghadapi UN. Ada remidial teaching, ada les, yang dimatangkan dengan menggelar try out, yaitu simulasi ujian dengan soal-soal ujian yang disesuaikan dengan standar UN. Hingga, waktu untuk bersantai siswa sudah terampas oleh kegiatan yang diadakan oleh sekolah.

Kelulusan siswa dari UN kini menjadi “pekerjaan akhir” yang berat bagi guru dan siswa kelas III SMP dan SMA atau sederajat di seluruh Indonesia, termasuk Aceh. Masalah presentase kelulusan bukan lagi sekadar mempertaruhkan nama baik sekolah, tetapi juga nama baik daerah, yaitu kota atau kabupaten dimana kelulusan siswa berada.

Banyak berita miring seputar pelaksanaan UN yang menyisakan balada keterpurukan bagi dunia pendidikan. Berikut adalah contoh kecil kecurangan yang terjadi pada pelaksanaan UN tahun-tahun yang lalu. Di Tangerang, panitia sekolah minta izin kepada pengawas untuk masuk kelas dan tanpa malu-malu memberikan jawaban ujian kepada siswa. Pasca UN-SMA, ada pejabat yang kebakaran jenggot karena melihat potensi UN yang merugikan reputasi daerahnya lalu segera mengadakan rapat kilat mengundang para kepala sekolah dan mencoba “ main mata” dengan Tim Pengawas Independen (TPI) agar hasil UN di daerahnya diatur baik. Dengan uang amplop yang diterima, para pendidik seperti dilecehkan nuraninya. Namun, jika tidak ikut setuju, resiko jabatan menghadang di depan mata (Kompas, 26/04/2007).

Berita lain menyebutkan: Kepolisian Resort Deli Serdang menetapkan 16 guru dan Kepala Sekolah Menengah Atas Negeri Lubuk Pakam 2 sebagai tersangka pelaku kecurangan ujian nasional. Para guru dan kepala sekolah ini didapati membetulkan jawaban soal ujian siswa di sekolahnya (Kompas, 25/05/2008). Di Padang, Sumatera Barat Ketua Tim Pemantau Independen menemukan kecurangan antara lain kemudahan siswa membawa telepon seluler ke dalam kelas dan siswa leluasa ke kamar kecil (Kompas, 25/05/2008). Ujian Nasional telah mendorong guru untuk juga terlibat dalam kecurangan agar siswanya lulus. Ujian Nasional telah memerkosa integritas dan kejujuran guru. Lalu apa yang mesti dibuat?

Saya, dan semua kita yang peduli masa depan anak bangsa, berharap pada UN 2009, tidak ada pihak yang ikut “main mata” dalam pelaksanaannya. Kepala dinas pendidikan kabupaten/kota tidak menempatkan guru-guru dalam posisi “tidak berdaya” dan “terpaksa membela” anak didiknya dengan cara sungsang yang tidak sepatutnya dilakukan. Bupati/walikota di NAD layak mencontoh Dr Bukhari Daud, Bupati Kabupaten Aceh Besar yang berani meminta aparatnya untuk tidak “ikut campur” dalam UN tahun lalu. Appresiasi patut diberikan kepada sang bupati, meski himbauannya sebatas lisan, bukan tertulis resmi.

Sudah bukan rahasia lagi bila masing-masing pemerintah kabupaten kota tidak iingin disebut gagal dalam pendidikan. Konsekwensinya, setiap rayon berupaya agar nilai siswa menjadi tinggi sehingga angka ketidaklulusan bisa ditekan. Kalau ini terjadi, berarti semua kalangan terjebak dalam raihan mutu pendidikan yang semu.

Kultur pendidikan yang jauh dari norma moral secara perlahan akan membawa aneuk nanggroe ini memasuki jurang keruntuhan. Pendidikan kita sedang menyimpan bom waktu yang akan menghancurkan sendi-sendi tatanan sosial kapan saja, begitu tulis Doni Koesoema (Kompas, 26/04/2007). Ketika anak tidak belajar arti kerja keras dan nilai kejujuran, kita sebenarnya sedang mempersiapkan lahirnya generasi yang gemar jalan pintas, membentuknya menjadi kerumunan pembunuh nurani.

Jika dalam UN berperilaku tidak terpuji, seperti sengaja memberi jawaban kepada siswa, anak-anak tidak akan belajar apa arti nilai kerja keras. Siswa pun akan “menangkap” nilai kerja keras dan kejujuran itu tidak perlu. Lama-lama anak-anak tidak dapat lagi melihat kenyataan secara berimbang dan menilainya secara jujur sesuai dengan kenyataan yang ada. Pentingjuga diperhatikan ialah ada ketenangan dalam ruang ujian. Terdapat dua situasi di sana, yaitu ketegangan da kegentaran siswa menghadapi soal-soal UN. Karenanya, saat UN berlangsung, tidak boleh ada orang luar, siapapun dia yang masuk ke ruang ujian, kecuali pengawas yang telah ditetapkan. Tamu pejabat yang datang, semisal kepala dinas pendidikan, bupati/walikota, atau pejabat dari kantor gubernur, apalagi pihak keamanan yang membawa senjata cukup hanya memantau dari luar ruang ujian. Masuknya orang luar ke ruang UN, sangat mengganggu konsentrasi peserta ujian.

Para birokrat harus tahu bahwa proses belajar berpikir dan penciptaan pengalaman jauh lebih penting daripada hanya melihat hasil akhir. Karena di situlah akan terbangun motivasi untuk mengembangkan diri, kemandirian untuk bertindak dan berkompetensi. Ingat bahwa tujuan pendidikan adalah memberdayakan manusia dalam membangun kekuatan yang kreatif, dan mampu berpikir, menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memecahkan masalah dan membangun berbagai ketrampilan. Itu semua hanya dapat dilakukan dengan ketulusan, kejujuran, serta tanggungjawab para pendidik, tanpa harus direkayasa. Dengan diterbitkannya berbagai ketentuan dalam Prosedur Operasi Standar (POS) bagi pelaksanaan UN, pemerintah tentunya bertujuan meningkatkan mutu pendidikan nasional. Ketentuan tersebut seharusnya ditaati secara konsisten dan konsekwen oleh seluruh pemangku kepentingan (stakeholders) pendidikan. Ini berarti bahwa semua orang yang terlibat dalam pelaksanaan UN, khususnya UN tahun 2009 harus berlaku jujur.

Semua kita berharap, para pendidik menciptakan iklim kejujuran melalui sikap tegas terhadap peserta yang melanggar tata tertib UN. Sistem kongkalingkong antar sekolah dan pengawas UN 2009 harus dijauhkan. Integritas moral pendidik akan runtuh jika pendidik itu sendiri tidak mampu menghargai keutuhan martabat profesinya di hadapan siswa. UN 2009 menjadi ujian kejujuran bagi guru, kepala sekolah, kepala dinas pendidikan, hingga kepala pemerintahan. (http://www.serambinews.com/news)

Oleh:
Dr.Yusrizal
(Penulis adalah Doktor Bidang Penelitian dan Evaluasi Pendidikan, Dosen FKIP dan Program Pascasarjana Unsyiah)

Selamat Hari Kartini


"Dan, siapakah yang dapat berusaha memajukan kecerdasan budi itu, siapakah yang dapat mempertinggi derajat budi manusia, ialah wanita, ibu, karena haribaan itu manusia mendapatkan didikannya yang mula-mula sekali." (Petikan surat Kartini kepada Ny. Ovink Soer dalam buku ‘Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang’ halaman 40)

Kartini adalah seorang sosok inspiratorial woman yang telah menunjukkan dedikasi dan perjuangannya untuk mengangkat harkat, martabat dan derajat kaumnya di mata dunia internasional. Oleh karena itulah, setiap wanita masa kini harus meneladani spirit perjuangan beliau yang menyala-nyala dan takkan pernah redup diterjang gelombang jaman. Semangat itulah yang nantinya bisa diharapkan mampu merubah bangsa ini ke arah yang lebih baik, dan mampu memunculkan harapan-harapan baru bagi bangsa Indonesia ke depannya.

Bangkitlah kartini-kartini muda bangsa, tunjukkan semangatmu, optimalkan potensimu, serta kibarkanlah jati dirimu demi kemuliaanmu, kemuliaan kaummu dan kemuliaan negerimu ini di dalam percaturan dunia internasional. Jangan biarkan semua orang memandangmu dan kaummu dengan sebelah mata. Tunjukkan pada mereka semua bahwa kartini-kartini muda Indonesia mampu berkarya dengan karya yang nyata. Merdeka...!!! 3x.


Dikirim Oleh: (S. Winarsih)